*Di suatu kolom komentar instagram
Abu: "Ngawur! Agama Islam dah sempurna. Gak perlu ditambah-tambah, bid'ah namanya itu."
Abe: "Kami ngerayain maulid atas dasar cinta sama Nabi. Lagipun di dalam perayaan maulid enggak ada tuh kegiatan yang melanggar syariat. Maulid itu isinya sholawat, zikir, dengerin ceramah agama. Kan itu semua ibadah."
Abu: "Mana dalilnya? Ibadah tuh harus ada dalil perintahnya lah."
*Mereka pun terus berdebat tanpa henti sampai tulisan ini dibuat. Chuaks.
Selamat datang para pembaca muslim yang bijak.
Saya tertarik membahas sedikit mengenai masalah khilafiah.
Bukan ustadz, sih. Cuma seorang bocah kencur yang sedikit peduli sama  adanya "jarak" di antara umat Islam belakangan ini.
Gimana enggak, di hampir setiap harinya masih ada aja oknum pembelajar yang saling debat persoalan kaya gini.
Sikap Para Ulama Menyikapi Perbedaan Pendapat
Kalian tau? Para ulama kita -ulama yang betulan ulama- mereka saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat yang ada lho. Kenapa sering kali beberapa dari kita yang cuma seorang murid -apalagi murid online, ngaji di media sosial-, justru seneng bener debat?Â
Ada satu kisah yang cukup familiar.
Kisah dua ulama besar pada masanya, yaitu Buya HAMKA dan KH. Idham Khalid.
Diceritakan bahwa dulu, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah -Buya HAMKA- (Tokoh Muhammadiyah) pernah satu kapal dengan KH. Idham Khalid (Tokoh NU) dalam perjalanan menuju Tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.
Di saat hendak melakukan salat subuh berjamaah, KH. Idham Khalid dipersilakan maju untuk mengimami. Secara tiba-tiba, pada rakaat kedua, KH. Idham Khalid meninggalkan praktek qunut subuh, padahal qunut subuh bagi kalangan NU seperti suatu kewajiban. Semua makmum mengikutinya dengan patuh. Tak ada nada protes yang keluar walau ada yang mengganjal di hati.
Sehingga seusai salat, Buya Hamka bertanya, "Mengapa Pak Kyai Idham Khalid tidak membaca qunut." "Saya tidak membaca doa qunut karena yang menjadi makmum adalah Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang tak berqunut agar ikut berqunut," jawab KH. Idham Khalid.
Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka yang giliran mengimami salat subuh berjamaah. Ketika rakaat kedua, mendadak Buya Hamka mengangkat kedua tangannya, beliau membaca doa qunut subuh yang panjang dan fasih. Padahal bagi kalangan Muhammadiyah qunut subuh hampir tidak pernah diamalkan.
Seusai salat, KH. Idham Khalid pun bertanya, "Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa qunut subuh saat mengimami salat?" "Karena saya mengimami Pak Kyai Idham Khalid, tokoh NU yang biasa berqunut saat salat subuh. Saya tak mau memaksa orang yang berqunut untuk tidak berqunut," jawab Buya Hamka merendah.
Akhirnya kedua ulama tersebut saling berpelukan. Para jamaah pun terharu melihat pemandangan yang indah itu.
Jadi, Bagaimana Kita Menyikapi Perbedaan?
Dari kisah barusan, kita bisa belajar, perbedaan tidak perlu kita jadikan alasan untuk selalu berselisih. Akan jauh lebih baik jika kita saling bersinergi dalam membingkai persatuan umat. Biarlah perbedaan menghiasi di antara kita, karena hakikatnya perbedaan adalah keniscayaan, akan selalu ada dan terus ada.
Kalian tim anti-maulid, tahlil, qunut, atau musik-musikan, silakan tinggalkan tanpa harus mengolok-olok. Pun sebaliknya, bagi yang mengamalkan, tidak perlu mencaci maki yang tidak melakukan. Selama pendapat-pendapat memiliki hujjah, maka mari saling menghargai. Sekeras apa hati kita sampai-sampai sangat sulit berlapang dada terhadap perbedaan?
Perbedaan indah ketika kita saling memaklumi, saling menghormati, menghargai, dan saling mengerti. Bukan paling merasa kelompoknya benar sendiri dan selainnya akan masuk neraka.
Mari kita jaga silaturahmi, jaga persatuan umat Islam.
Semoga bermanfaat dan bisa menggerakkan hati kita semua. Aamiin allahumma aamiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H