Mohon tunggu...
Fajar Setiawan
Fajar Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Syahid

Meminati sosial-keagamaan, bahasa dan sastra, olahraga khususnya sepak bola, dan (sedikit) politik. Menulis saat ingin dan sempat. Semoga selalu ada manfaat yang bisa didapat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyikapi Perbedaan Pendapat (Khilafiah) dalam Islam

25 Oktober 2021   08:38 Diperbarui: 16 Desember 2022   15:24 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada satu kisah yang cukup familiar.

Kisah dua ulama besar pada masanya, yaitu Buya HAMKA dan KH. Idham Khalid.

Diceritakan bahwa dulu, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah -Buya HAMKA- (Tokoh Muhammadiyah) pernah satu kapal dengan KH. Idham Khalid (Tokoh NU) dalam perjalanan menuju Tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Di saat hendak melakukan salat subuh berjamaah, KH. Idham Khalid dipersilakan maju untuk mengimami. Secara tiba-tiba, pada rakaat kedua, KH. Idham Khalid meninggalkan praktek qunut subuh, padahal qunut subuh bagi kalangan NU seperti suatu kewajiban. Semua makmum mengikutinya dengan patuh. Tak ada nada protes yang keluar walau ada yang mengganjal di hati.

Sehingga seusai salat, Buya Hamka bertanya, "Mengapa Pak Kyai Idham Khalid tidak membaca qunut." "Saya tidak membaca doa qunut karena yang menjadi makmum adalah Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang tak berqunut agar ikut berqunut," jawab KH. Idham Khalid.

Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka yang giliran mengimami salat subuh berjamaah. Ketika rakaat kedua, mendadak Buya Hamka mengangkat kedua tangannya, beliau membaca doa qunut subuh yang panjang dan fasih. Padahal bagi kalangan Muhammadiyah qunut subuh hampir tidak pernah diamalkan.

Seusai salat, KH. Idham Khalid pun bertanya, "Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa qunut subuh saat mengimami salat?" "Karena saya mengimami Pak Kyai Idham Khalid, tokoh NU yang biasa berqunut saat salat subuh. Saya tak mau memaksa orang yang berqunut untuk tidak berqunut," jawab Buya Hamka merendah.

Akhirnya kedua ulama tersebut saling berpelukan. Para jamaah pun terharu melihat pemandangan yang indah itu.

Jadi, Bagaimana Kita Menyikapi Perbedaan?

Dari kisah barusan, kita bisa belajar, perbedaan tidak perlu kita jadikan alasan untuk selalu berselisih. Akan jauh lebih baik jika kita saling bersinergi dalam membingkai persatuan umat. Biarlah perbedaan menghiasi di antara kita, karena hakikatnya perbedaan adalah keniscayaan, akan selalu ada dan terus ada.

Kalian tim anti-maulid, tahlil, qunut, atau musik-musikan, silakan tinggalkan tanpa harus mengolok-olok. Pun sebaliknya, bagi yang mengamalkan, tidak perlu mencaci maki yang tidak melakukan. Selama pendapat-pendapat memiliki hujjah, maka mari saling menghargai. Sekeras apa hati kita sampai-sampai sangat sulit berlapang dada terhadap perbedaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun