Isu rasisme kembali menyeruak di belakangan ini. Peristiwa meninggalnya George Flyod di tangan aparat kepolisian Minnesota menyulut amarah serta kerusuhan di seluruh Amerika. Aksi solidaritas kepada kalangan kulit hitam menyebar ke seluruh dunia melalui tagar #BlackLivesMatter.
Pertanyaannya adalah mengapa rasisme masih menunjukan eksistensinya di dalam masyarakat modern? Gue bakal mencoba untuk mengulas secara ringkas isu rasisme dalam pandangan Slavoj Zizek. Siapakah Zizek ini? gue rasa bagi kalian yang mendalami sosiologi atau filsafat atau bahkan psikologi pasti pernah mendengar nama Zizek. Kalau yang belum tau googling aja hahaha. Okey, let's get started!
Zizek berpandangan bahwa alasan rasisme masih menunjukan eksistensinya di dalam masyarakat modern memiliki keterkaitan dengan political correctness. Ia berpandangan bahwa rasisme terus eksis di dalam masyarakat karena masih kentalnya political coreectness itu sendiri.
Kok bisa?
Ia mengatakan bahwa menghindari kata-kata yang bersifat rasis (yang mana hal ini merupakan suatu bentuk political correctness) adalah suatu wujud dari rasisme itu sendiri. Dengan menggunakan kata-kata yang bersifat lebih netral, secara tidak langsung menunjukan bahwa kelompok yang dituju ini lebih rapuh dan lemah karena harus 'dilindungi' dengan kata-kata netral tersebut. Hal ini lah yang kemudian menurut Zizek melanggengkan adanya diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Gue bakal kasih contoh sederhana. Contoh ini gue dapet dari khotbah misa waktu gue masih SMA yang entah secara kebetulan atau memang si Romo-nya tau soal pendapat Zizek ini. Jadi, dalam khotbah itu Romo menyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika akan tercapai secara utuh ketika kita memanggil teman kita dengan sebutan rasial tanpa diikuti rasa kebencian. Jadi misalnya, gue yang masih ada keturunan Cina ini dipanggil "woy cina" dengan tanpa ada tendensi hinaan, gue seharusnya gak bakal tersinggung.
Zizek pun menyatakan bahwa dengan menggunakan 'offensive jokes' dengan pendekatan yang 'friendly' dalam pergaulan sehari-hari bisa membuat hubungan semakin hangat. Digarisbawahi ya 'friendly'. Bukan berarti lu bisa keliling kota sambil teriak-teriak 'woy cina woy cina' seenaknya hahaha.
Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud Zizek hanya berbatas pada 'offensive jokes'. Artinya bahwa jika suatu kata-kata yang berbau rasisme tersebut dilontarkan dengan tendensi bukan menghina. Dua hal ini lah yang menurut gue harus benar-benar dibedakan.
Kalo gue renungkan lagi rasanya pendapat Zizek ini masuk akal. Alih-alih menghilangkan atribut negatif dalam suatu kata, orang-orang lebih senang melakukan 'sugar coating' terhadap kata-kata tersebut. Nah, 'sugar coating' ini rasa-rasanya tidak dapat menghilangkan suatu kondisi rasisme itu sendiri, melainkan hanya 'menghindar' aja.
Kemudian pertanyaannya apakah kita bisa melihat suatu perbedaan dengan menerima perbedaan tersebut serta menghilangkan semua atribut negatif yang melekat padanya?
Pendapat Zizek ini memang terdengar sangat utopis. Gue gak mengatakan bahwa pandangan dia seratus persen benar. Ada beberapa hal yang masih bisa didiskusikan.Â
Misalnya Zizek mengemukakan bahwa political correctness is a new form of totalitarianism, tetapi bagaimana jika political correctness ini terbentuk dari norma yang ada di dalam masyarakat? bukankah masyarakat akan terikat pada norma tersebut? atau lebih lanjut lagi bukankah kita tidak bisa mengontrol ketersinggungan seseorang?
Meski demikian, pandangan Zizek mengenai rasisme dan political correctness yang udah secara singkat gue paparin di atas bisa menjadi suatu perspektif baru bagi kalian. Gue rasa ketika semakin banyak perspektif baru yang kita ketahui dalam melihat suatu masalah kita bisa lebih bijak dalam menghadapi masalah tersebut.
Happy sunday, folks! cheers!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H