Tadi malam, membaca komentar seorang Kompasianer yang tulisannya pernah ku kritisi beberapa hari lalu, aku menghubungi Daddy yang lagi di Seoul.
Aku : "Dad, kok Om *** komentar begitu di tulisanku?"
Daddy: "So what? Be a man. Hadapi itu. Daddy gak akan ikut campur. Itu masalah kecil kan? Dadddy percaya kamu bisa atasi.
Aku : "Iya Dad."
Aku tahu dengan sangat baik sebelum menerima komentar itu. Akan ada yang meragukan usiaku dengan kualitas tulisan-tulisanku. Dan aku tidak tersinggung dikomentari begitu. Itu wajar.
Sejak kecil, sebenarnya Daddy tidak pernah memperlakukan aku dan dede sebagai anak-anak. Ketika anak-anak seusia ku membaca komik dan bermain robot-robotan, "mainan" ku adalah tulisan-tulisan Aristotle, Russell, Heggel, Kant, Whitehead, dsb. Dengan bantuan Daddy tentunya. Aku bahkan harus membuat ringkasannya dan mempresentasikannya di hadapan Daddy secara rutin, selain harus menyelesaikan tugas-tugasku di sekolah.
Aku sangat menikmati itu. Jangan salah paham!
Daddy juga membayar ahli literatur termasuk juga membayar orang untuk mengajariku membaca serta memahami tulisan-tulisan para filsuf yang super kompleks di atas serta mengajariku menulis dengan baik. Para Kompasianers sekalian bisa menilai sendiri, apakah aku mengikuti pelajaran-pelajaran itu dengan baik atau tidak.
Aku sendiri, tidak satu pun tulisan-tulisan Daddy yang tidak ku baca. Aku bahkan bisa menyebutkan semuanya termasuk isinya jika ada yang bertanya dan aku harus menjawabnya. Artinya, jika bagiku tidak harus, maka aku tidak peduli orang percaya atau tidak percaya.
Daddy juga mengikutsertakan aku dalam sebuah klub kreativitas anak yang sangat baik mengeksplorasi dan menajamkan kemampuan dan ketrampilan para pesertanya. Dan beberapa bulan lalu, dalam sebuah perlombaan debat, aku dinobatkan sebagai The Best Debator di klub ku. Mereka yang ada di klub itu, dapat ada di sini dan membenarkan yang ku tulis, jika harus. Tetapi jika tidak harus, mengapa aku harus peduli Om *** percaya atau tidak?
Hampir lupa. Aku percaya para Kompasianers sekalian pernah mendengar kisah bahwa Aleksander Agung, pada usianya yang keduabelas tahun, telah dididik oleh seorang filsuf besar bernama Aristotle. Lalu mengapa aku terlihat seperti sebuah keanehan di dalam dunia ini? Oh my God!
Pada dirinya sendiri, aku tidak peduli dengan komentar itu. Aku hanya peduli bahwa orang dapat membangun opini yang tidak berdasar dan sayangnya orang lain dapat juga percaya dengan opini tak berdasar itu. Aku peduli hal ini dan untuk kali ini aku ingin memberi klarifikasi. Selebihnya jangan tanyakan karena aku tidak lagi merasa peduli untuk menjawab detail atau mengklarifikasi lagi. Enough!
Aku hanya ingin, satu kali ini saja untuk seterusnya, tidak akan kulakukan lagi, mengantisipasi komentar-komentar berikutnya yang senada. Artinya, di satu sisi yang lain, dengan tulisan ini aku hanya sedang peduli dengan diriku sendiri. Aku peduli dengan diriku untuk diberi tempat bahwa dengan usiaku aku bisa seperti ini. Sebab ketika orang-orang ingin anak-anak mereka "dewasa", aku justru berjuang untuk tetap terlihat seperti anak-anak. Dan itu perjuangan yang tidak enak bagiku.