Mohon tunggu...
Aryananda Ranggabuana
Aryananda Ranggabuana Mohon Tunggu... wiraswasta -

“All journeys eventually end in the same place, home.” ― Chris Geiger

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Kepo

20 Juli 2014   21:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:47 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terpisah dengan Daddy untuk semenara waktu membuka ruang kesedihan tersendiri di hatiku. Juga ruang kebanggaan yang persis bertumpang tindih.

Sedih karena tak bisa untuk sementara waktu bergulat dalam pengawasannya dengan segala macam buku yang kadang tebalnya membuatku merasa tidak pernah bisa lebih tinggi dari mereka.

Bangga karena Daddy harus melanjutkan studinya. Kata Daddy, "Tumbuhkan sedikit kebangganmu bagi Daddy untuk keputusan ini. Daddy hanya tidak ingin terlalu cepat terlihat bodoh di hadapanmu."

Daddy bukanlah orang yang bisa tidur lebih dari 2 - 3  jam dalam sehari. Dan, entah aku harus merasa bangga atau sedih, aku pun sangat mungkin mewarisi itu.

Baiklah. Di Negeri Kincir Angin, yang sebenarnya hanya 8 jam lebih dengan kereta dari tempatku dititipkan, percakapan dipayungi langit semesta itu pun dimulai.


"Gimana rasanya mewakili Daddy dalam perjalanan bisnis kemarin?"
"Hebat Dad. Aku merasa seperti penguasa dunia."
"Well, itu bagus. Daddy senang kamu merasa begitu."
"Pasti ada 'tapi'nya kan, Dad?"
"Oh iya. Hidup ini terlalu rumit untuk tidak memasukan unsur 'tapi' di dalamnya."
"Maka sekarang aku ingin mendengar kejutan mengenai unsur 'tapi' itu, Dad."
"Kejutan? Apa yang sebenarnya benar-benar mengejutkan di bawah matahari? Sederhana. Keingintahuan. Kamu merasa begitu karena keingintahuan. Keingintahuan bisa membuat dunia ini kurang lebar untuk dijelajahi."
"Dan 'tapi'nya apa, Dad?"
"Baca dan renungkan ini. 'Tapi'nya adalah bahwa sementara ia dapat membuatmu merasa seperti seorang penakluk dunia, tapi ia juga dapat membuatmu tidak dapat menaklukkan dirimu sendiri. Di dalam rengkuhan keingintahuan, kamu bisa menjadi begitu liar. Kamu juga bisa menjadi begitu tidak bersalah untuk mengetahui segala sesuatu yang bisa dan menurutmu harus kamu ketahui, dan pada saat yang sama kamu berpikir seandainya kamu tidak mengetahui itu."
"Ok Dad. Jadi ada pertarungan antara kebanggaan dan rasa sakit dan tidak ada pilihan untuk memilah mana yang mesti dibuang dan mana yang mesti direngkuh, begitu Dad?"
"Kamu sangat cerdas mencegat ke mana arahnya. Bukan hanya soal ketiadaan pilihan. Keitidakberdayaan adalah istilah yang mungkin sedikit lebih tepat menggambarkan itu."
"Ada istilah yang lebih ringkas tapi tepat menggambarkan itu, Dad?"
"Sejauh yang Daddy ketahui, bukan paradoks. Paradoks hanya sebuah permainan linguistik. Bukan juga ironi. Intonasi negatif terlalu kentara di dalamnya."
"Lalu apa, Dad?"
"Antinomi. Kamu pernah membaca tulisan Daddy tentang kata itu, kan?"
"Iya, Dad. Akan kubaca lagi setelah ini."

Percakapan di atas aku pindahkan dari arsip percakapanku dengan Daddy dua hari lalu. Saat menulis postingan ini, sempat terlintas, mungkin maksud Daddy, keingintahuan itu sendiri harus dikekang untuk area tertentu. Ada area di mana sebaiknya kita tidak tahu dan menolak untuk ingin tahu tepat pada kesempatan pertama ketika ia muncul.

Ahaa..mungkin lebih baik percakapan di atas disebut "Filsafat Kepo". Tau ah. Yang penting nulis lagi. Hahahahaha!

[caption id="attachment_334437" align="alignleft" width="419" caption="https://pbs.twimg.com/"][/caption]



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun