Mohon tunggu...
Aryananda Ranggabuana
Aryananda Ranggabuana Mohon Tunggu... wiraswasta -

“All journeys eventually end in the same place, home.” ― Chris Geiger

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sindrom "Taken for Granted"

28 Juli 2014   03:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:00 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tahu istilah "sindrom" banyak digunakan dalam konteks klinis. Aku tidak paham soal konteks itu. Aku hanya ingin menggunakan istilah ini dalam arti sebuah gejala atau fenomena.

Beberapa jam yang lalu, aku bercakap-cakap dengan mami. Mami bicara banyak hal. Satu hal yang menarik perhatianku adalah taken for granted. Idiom ini kira-kira berarti menerima atau menganggap sesuatu sebagai sudah selayaknya didapatkan atau dinikmati atau diterima.

Memang ada orang yang menganggap taken for granted memiliki sisi positif. Misalnya Joyce Brothers pernah mengatakan, "Being taken for granted can be a compliment. It means you've become a comfortable, trusted elemen in another person's life."

Tetapi, umumnya orang tidak bertahan lama dalam situasi itu. Orang memiliki instink dasar untuk dianggap berharga, diperjuangkan, dipertahankan, dirindukan, dan diistimewakan dari waktu ke waktu.

Sayangnya, taken for granted sering diaplikasikan dalam cara yang salah. Bahkan cenderung berkesan bahwa orang yang dianggap demikian hampir-hampir non exist. Ini sisi terburuknya dan mungkin bisa disebut sebagai sebuah sindrom.

Aku menyebutnya "sindrom taken for granted". Intinya, sindrom ini ada pada orang-orang yang menganggap upaya untuk memperjuangkan serta mempertahankan sesuatu atau bisa juga seseorang tidak perlu lagi. Sesuatu atau seseorang tersebut sudah selayaknya atau sudah sepatutnya kita miliki.

Biasanya, orang-orang dengan sindrom di atas baru menjadi sadar dan bahkan tergopoh-gopoh berjuang tatkala sesuatu atau seseorang yang mereka asumsikan tidak bisa "lepas" atau "pergi" itu sudah sangat jengah dan tidak dapat lagi menahan diri untuk pergi. Sadar ketika semuanya sudah terlambat.

Aku banyak membaca dan mendengar, ada anak-anak dari orangtua yang super sibuk yang baru dianggap "hilang" dari rumah ketika mereka sudah benar-benar pergi. Ada juga anak-anak yang baru menangis meraung-raung penuh penyesalan ketika tiba-tiba orangtua mereka sudah tidak ada. Mami juga mengisahkan ada orang yang baru kelabakan setelah istri atau suaminya sudah memutuskan untuk meninggalkan rumah.

Aku berpikir setelah mendengar kisah mami, orang jatuh ke dalam sindrom taken for granted karena menggunakan pola pikir once-for-all (satu kali untuk seterusnya). Mereka berpikir bahwa satu kali di awal mereka menaklukkan hati dan hidup seseorang, maka seterusnya orang itu akan berada dalam sangkar emas mereka. Mereka lupa untuk berjuang mempertahankannya. Mereka menjadi lengah lalu dengan atau tanpa sadar membiarkan situasi kejengahan itu menjadi menumpuk hingga menggunung dan akhirnya meluber dalam kepergian. Mereka memaknai diri mereka sebagai penakluk yang hanya perlu satu kali menaklukkan dan seterusnya sesuatu atau seseorang itu akan tetap tertakluk.

Ya sudahlah. Aku hanya ingin menggoreskan apa yang aku pikirkan lebih lanjut setelah mendengar nasihat dan kisah mami. Gak tau deh apakah yang ku goreskan di sini sesuai dengan yang mami maksud atau tidak. Yang penting nulis lagi. Hahahahaha.

I love you, Mom!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun