Islam di Indonesia telah melalui berbagai fase perkembangan, dari pengaruh sufisme yang mendalam pada masa awal penyebaran hingga munculnya gerakan pembaruan pemikiran di abad ke-20. Dalam konteks ini, Mazhab Ciputat muncul sebagai pusat pembaruan yang signifikan dalam kajian Islam di Indonesia, terutama melalui kontribusi intelektual dari Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Dua tokoh ini membawa warna baru dalam cara pandang terhadap Islam, khususnya dengan mengedepankan pendekatan rasional, modern, dan terbuka terhadap perubahan sosial dan politik.
Harun Nasution dan Nurcholish Madjid sering dianggap sebagai "Bapak Mazhab Ciputat" karena keduanya memainkan peran penting dalam merumuskan dasar pemikiran Islam yang lebih progresif dan inklusif. Pemikiran mereka tak hanya memengaruhi kalangan akademisi di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tetapi juga menyebar luas ke berbagai elemen masyarakat, termasuk kalangan mahasiswa, aktivis, dan pembuat kebijakan.
"Islam Progresif", sebuah istilah yang sering dikaitkan dengan Mazhab Ciputat, merujuk pada upaya untuk memadukan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip modernitas, seperti rasionalisme, pluralisme, dan demokrasi. Bagi Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, Islam tidak hanya sebuah sistem kepercayaan yang harus dipatuhi secara dogmatis, tetapi juga sebuah etika yang dapat memandu umatnya dalam menghadapi tantangan zaman, termasuk dalam ranah politik, sosial, dan budaya.
Pendekatan progresif ini menempatkan Islam sebagai agama yang dinamis dan adaptif, yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern atau perkembangan demokrasi. Sebaliknya, mereka menekankan bahwa Islam memiliki kemampuan untuk berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih inklusif dan toleran, dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial dan kemanusiaan.
Pemikiran Harun Nasution yang menekankan rasionalisme dalam teologi Islam, dan Nurcholish Madjid yang memperkenalkan gagasan pluralisme serta pemisahan agama dari politik praktis, memberikan fondasi bagi pengembangan Islam Progresif. Kedua pemikir ini menolak pandangan bahwa Islam harus dipahami secara rigid dan tekstualis, melainkan menekankan pentingnya pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan dinamika sosial dan historis.
Dalam konteks Mazhab Ciputat, "Islam Progresif" tidak hanya menyoroti pentingnya pembaruan dalam teologi, tetapi juga memberikan ruang bagi umat Islam untuk berpartisipasi aktif dalam membangun peradaban modern. Pemikiran ini berupaya menciptakan keseimbangan antara keyakinan agama dan tuntutan modernitas, tanpa mengorbankan esensi moralitas Islam.
Harun Nasution: Pembaharu Rasional dalam Teologi Islam
Harun Nasution adalah tokoh yang memperkenalkan rasionalisme dalam kajian teologi Islam di Indonesia. Melalui karyanya, ia memperkenalkan pemikiran Mu'tazilah, sebuah aliran dalam Islam yang menekankan penggunaan akal dalam memahami wahyu. Pemikiran Harun ini menjadi semacam antitesis terhadap pandangan konservatif yang menekankan otoritas tunggal teks suci tanpa mempertimbangkan konteks sejarah dan sosial.
Harun melihat pentingnya menggunakan pendekatan rasional dalam memahami ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman. Ia menekankan bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern dan bahwa umat Islam harus berani mengadopsi pendekatan kritis dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama. Melalui bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Harun Nasution mempopulerkan ide-ide pembaruan yang akhirnya menjadi salah satu landasan utama Mazhab Ciputat.
Di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Jakarta), Harun Nasution memainkan peran penting dalam membangun fondasi intelektual dan akademik yang berbasis pada rasionalisme. Kurikulum yang dirancangnya mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dan terbuka terhadap perubahan, mengajarkan mereka untuk tidak sekadar menerima doktrin, tetapi juga untuk menguji kebenaran melalui pendekatan ilmiah. Pengaruh pemikiran Harun ini terasa kuat di kalangan akademisi dan intelektual Muslim di Indonesia.
Nurcholish Madjid: Islam Yes, Partai Islam No