I
Abdul Basit dalam tulisannya, "Kontruksi Ilmu Komunikasi Islam". mengawali perdebatan akademik tentang kedudukan ilmu komunikasi Islam, sebuah topik yang telah menjadi fokus perhatian di kalangan akademisi, terutama di lingkungan Universitas Islam Negeri Jakarta.Â
Diskusi ini mencerminkan dinamika intelektualitas yang melingkupi wacana ilmiah, di mana argumen tentang inklusi ilmu dakwah dalam kategori ilmu sosial atau ilmu agama masih menjadi sorotan utama. Namun demikian, Basit hanya menyentuh permukaan dari perdebatan ini, tanpa mengeksplorasi lebih dalam ke alam paradigma keilmuan sosial.
Dua figur sentral dalam perdebatan tersebut adalah Amrullah Ahmad dan Andi Faisal Bakti, keduanya dosen di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki pengaruh yang luas dalam pengembangan pemikiran ini. Amrullah Ahmad melihat "komunikasi Islam" melalui lensa Ilmu Dakwah, sementara Andi Faisal Bakti memandangnya dari perspektif Ilmu Komunikasi. Perbedaan pendekatan ini mencerminkan perdebatan yang lebih luas dalam "Ilmu Komunikasi Islam", di mana pemikiran yang bersumber dari tradisi Islam yang klasik bertabrakan dengan pendekatan modern yang lebih berorientasi pada Ilmu Komunikasi.
Namun, keputusan Basit untuk tidak melangkah lebih jauh ke dalam paradigma ilmu sosial merupakan suatu kekurangan. Mengingat bahwa pemikiran Ahmad dan Bakti muncul dari konteks yang sama, yaitu upaya untuk memahami peran Islam dalam dunia modern, perlu adanya penelusuran lebih dalam terhadap paradigma yang mendasari pandangan mereka. Dalam konteks ini, pemahaman tentang paradigma ilmu sosial menjadi penting, karena paradigma tersebut memainkan peran kunci dalam pembentukan teori dan analisis.
Paradigma, seperti yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn, adalah kerangka kerja konseptual yang memengaruhi cara kita memahami dunia. Masing-masing paradigma membawa perspektif uniknya sendiri, yang pada gilirannya mempengaruhi cara kita memahami dan menafsirkan realitas. Dalam konteks "Ilmu Komunikasi Islam", pemahaman tentang paradigma ilmu sosial dapat membantu dalam memperluas wawasan terhadap perdebatan yang berkembang.
Menariknya, dalam kajian ilmu pengetahuan sosial, terdapat empat paradigma utama yang berkembang seiring waktu: positivisme, postpositivisme, konstruktivisme, dan teori kritis. Namun, penelusuran lebih lanjut mengenai paradigma ini mengungkapkan bahwa paradigma kritis menarik perhatian khusus dalam konteks "Ilmu Komunikasi Islam". Paradigma ini menawarkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana komunikasi dapat dilihat sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas dalam konteks keagamaan.
Oleh karena itu, dalam mengeksplorasi konstruksi "Ilmu Komunikasi Islam", sangatlah penting untuk tidak hanya melihat dari sudut pandang tradisional yang terbatas, tetapi juga untuk membuka diri terhadap pemahaman yang lebih dalam tentang paradigma ilmu sosial. Hanya dengan demikian, kita dapat memperkaya diskusi tentang peran Islam dalam konteks komunikasi modern, serta memahami bagaimana paradigma ilmu sosial dapat memperkaya pemikiran dalam bidang ini.
II
Diskusi tentang perkembangan "Ilmu Komunikasi Islam" membawa kita pada refleksi yang mendalam tentang esensi komunikasi dalam konteks keberadaan agama, khususnya Islam. Ketika membaca judul artikel ini, "Perkembangan Ilmu Komunikasi Islam", perasaan ingin tahu akan menggoyahkan pikiran kita untuk menggali lebih dalam. Bagi mereka yang tertarik pada disiplin ilmu ini, judul tersebut merupakan undangan yang sulit untuk diabaikan. Namun, apa yang terjadi ketika kita merenungkan isi artikel tersebut?
Penulis, Harjani Hefni, dengan jelas ingin menghubungkan konsep "komunikasi" dengan "ilmu komunikasi" dalam konteks Islam. Ia merenungkan makna komunikasi dalam al-Qur'an, mengaitkannya dengan kisah nabi Adam dan Hawa, serta berbagai aspek yang terkandung di dalamnya. Namun, sejauh mana konsep ini dapat diartikan sebagai ilmu yang terstruktur dan berbasis metodologi ilmiah?
Ketika kita mengamati pendekatan Amrullah Ahmad, kita melihat bahwa ilmu dakwah didasarkan pada prinsip-prinsip yang kokoh, berakar pada al-Qur'an, Hadis, dan sejarah Islam. Namun, apakah pendekatan ini telah membawa kita pada pengembangan ilmu yang sistematis dan komprehensif?
Di sisi lain, perspektif Andi Faisal Bakti membawa kita pada pemahaman yang lebih teknis tentang komunikasi dalam konteks Islam. Dengan mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi dan menyelidiki teori-teori yang relevan, ia berusaha menciptakan landasan ilmiah untuk "Ilmu Komunikasi Islam". Namun, sejauh mana kontribusi ini telah membentuk paradigma ilmu yang jelas dan berkelanjutan?
Dalam mengevaluasi kedua pendekatan tersebut, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah yang telah ditulis oleh Hefni dan yang lainnya merupakan awal dari suatu ilmu yang terstruktur dan berkelanjutan? Ataukah ini hanya sebatas usaha retoris dan apologis untuk membenarkan keberadaan "Ilmu Komunikasi Islam?".
Dari artikel Hefni, kita mendapat wawasan bahwa kajian "komunikasi Islam" telah ada sejak beberapa dekade yang lalu, dan upaya untuk menciptakan nomenklatur yang jelas dilakukan di beberapa lembaga pendidikan. Namun, apakah ini sudah cukup untuk menganggap bahwa kita telah mencapai titik di mana "Ilmu Komunikasi Islam" dapat diakui sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri dan berkelanjutan?
Diskusi tentang perkembangan "Ilmu Komunikasi Islam" mengajukan pertanyaan yang mendalam tentang esensi dan metodologi ilmu tersebut. Kita harus terus mempertimbangkan dan mengevaluasi berbagai kontribusi yang telah dilakukan, serta merenungkan arah dan tujuan dari perkembangan "Ilmu Komunikasi Islam" ke depan. Hanya dengan demikian kita dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang peran dan relevansi ilmu ini dalam konteks dunia modern yang semakin kompleks.
III
Jika kita ingin terus berbicara tentang ini, kita harus menggali lebih dalam tentang masalah dan peluang yang dihadapi dalam perkembangan "Ilmu Komunikasi Islam". Sifat kompleks ilmu itu sendiri merupakan masalah utama. Komunikasi adalah fenomena yang sangat luas dan rumit, dan ketika digabungkan dengan aspek agama, lebih rumit lagi.
Belum lagi kita menghadapi masalah paradigmatik. Bagaimana kita dapat mengintegrasikan paradigma ilmiah kontemporer dengan nilai-nilai agama yang mendasari "Ilmu Komunikasi Islam?" Apakah studi "komunikasi Islam" berdasarkan nilai-nilai keagamaan dapat menggunakan paradigma ilmu sosial yang efektif dalam konteks sekuler?
Diskusi tentang pemikiran tradisional dan modern juga merupakan fokus penting dari percakapan ini. Bagaimana kita dapat menyelaraskan interpretasi agama yang rigid dengan pemahaman yang lebih fleksibel dan kontekstual? Apakah kajian "komunikasi Islam" memungkinkan diversitas dan pluralisme, ataukah kita terjebak dalam sudut pandang yang terlalu terbatas?
Selain masalah yang ada, kita juga harus mempertimbangkan peluang yang ada dalam kemajuan "Ilmu Komunikasi Islam". Kemajuan teknologi dan globalisasi telah menciptakan peluang untuk percakapan lintas agama dan budaya. Bagaimana kita dapat menggunakan kemajuan ini untuk lebih memahami komunikasi dalam konteks Islam?
Selain itu, kita harus mempertimbangkan bagaimana "Ilmu Komunikasi Islam" dapat bekerja sama dengan ilmu sosial, humaniora, dan teknologi informasi. Bagaimana sinergi antara berbagai bidang ini dapat mengubah cara kita memahami komunikasi dalam konteks Islam?
Kita harus mengambil pendekatan yang terbuka dan inklusif dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang ini. Kita harus siap untuk belajar dari berbagai sudut pandang dan memperluas pemahaman kita tentang kesulitan komunikasi dalam konteks agama. Hanya dengan cara ini kita dapat menghasilkan kemajuan signifikan dalam bidang "komunikasi Islam" dan relevansinya dalam menjawab tantangan-tantangan dunia kontemporer yang semakin kompleks dan dinamis.
*Study Rizal Lolombulan Kontu (Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H