Ketika kita mengamati pendekatan Amrullah Ahmad, kita melihat bahwa ilmu dakwah didasarkan pada prinsip-prinsip yang kokoh, berakar pada al-Qur'an, Hadis, dan sejarah Islam. Namun, apakah pendekatan ini telah membawa kita pada pengembangan ilmu yang sistematis dan komprehensif?
Di sisi lain, perspektif Andi Faisal Bakti membawa kita pada pemahaman yang lebih teknis tentang komunikasi dalam konteks Islam. Dengan mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi dan menyelidiki teori-teori yang relevan, ia berusaha menciptakan landasan ilmiah untuk "Ilmu Komunikasi Islam". Namun, sejauh mana kontribusi ini telah membentuk paradigma ilmu yang jelas dan berkelanjutan?
Dalam mengevaluasi kedua pendekatan tersebut, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah yang telah ditulis oleh Hefni dan yang lainnya merupakan awal dari suatu ilmu yang terstruktur dan berkelanjutan? Ataukah ini hanya sebatas usaha retoris dan apologis untuk membenarkan keberadaan "Ilmu Komunikasi Islam?".
Dari artikel Hefni, kita mendapat wawasan bahwa kajian "komunikasi Islam" telah ada sejak beberapa dekade yang lalu, dan upaya untuk menciptakan nomenklatur yang jelas dilakukan di beberapa lembaga pendidikan. Namun, apakah ini sudah cukup untuk menganggap bahwa kita telah mencapai titik di mana "Ilmu Komunikasi Islam" dapat diakui sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri dan berkelanjutan?
Diskusi tentang perkembangan "Ilmu Komunikasi Islam" mengajukan pertanyaan yang mendalam tentang esensi dan metodologi ilmu tersebut. Kita harus terus mempertimbangkan dan mengevaluasi berbagai kontribusi yang telah dilakukan, serta merenungkan arah dan tujuan dari perkembangan "Ilmu Komunikasi Islam" ke depan. Hanya dengan demikian kita dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang peran dan relevansi ilmu ini dalam konteks dunia modern yang semakin kompleks.
III
Jika kita ingin terus berbicara tentang ini, kita harus menggali lebih dalam tentang masalah dan peluang yang dihadapi dalam perkembangan "Ilmu Komunikasi Islam". Sifat kompleks ilmu itu sendiri merupakan masalah utama. Komunikasi adalah fenomena yang sangat luas dan rumit, dan ketika digabungkan dengan aspek agama, lebih rumit lagi.
Belum lagi kita menghadapi masalah paradigmatik. Bagaimana kita dapat mengintegrasikan paradigma ilmiah kontemporer dengan nilai-nilai agama yang mendasari "Ilmu Komunikasi Islam?" Apakah studi "komunikasi Islam" berdasarkan nilai-nilai keagamaan dapat menggunakan paradigma ilmu sosial yang efektif dalam konteks sekuler?
Diskusi tentang pemikiran tradisional dan modern juga merupakan fokus penting dari percakapan ini. Bagaimana kita dapat menyelaraskan interpretasi agama yang rigid dengan pemahaman yang lebih fleksibel dan kontekstual? Apakah kajian "komunikasi Islam" memungkinkan diversitas dan pluralisme, ataukah kita terjebak dalam sudut pandang yang terlalu terbatas?
Selain masalah yang ada, kita juga harus mempertimbangkan peluang yang ada dalam kemajuan "Ilmu Komunikasi Islam". Kemajuan teknologi dan globalisasi telah menciptakan peluang untuk percakapan lintas agama dan budaya. Bagaimana kita dapat menggunakan kemajuan ini untuk lebih memahami komunikasi dalam konteks Islam?
Selain itu, kita harus mempertimbangkan bagaimana "Ilmu Komunikasi Islam" dapat bekerja sama dengan ilmu sosial, humaniora, dan teknologi informasi. Bagaimana sinergi antara berbagai bidang ini dapat mengubah cara kita memahami komunikasi dalam konteks Islam?