Mohon tunggu...
PPI TIONGKOK
PPI TIONGKOK Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Demokrasi, Media, dan Implicit Bias "Menjadi Pemilih yang Cerdas Pemilu 2019"

16 Maret 2019   16:48 Diperbarui: 19 Maret 2019   09:31 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
npr.org/getty images

Menerapkan sistem pemilihan secara langsung, Indonesia menjadi salah satu negara yang akan merayakan gegap gempita demokrasi pada bulan April ini. Jalan menuju Demokrasi bukanlah hal yang mudah diwujudkan oleh Bangsa Indonesia. Tapi sejauh mana rakyat Indonesia mampu membawa perubahan dalam perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia itu sendiri.

Perlu dipahami bahwa demokrasi dapat berjalan dengan ideal jika pemilih mampu memahami konteks persoalan dan mengetahui isu-isu politik yang terjadi sehingga pemilih secara cerdas dapat memilih dan mentukan pilihan politiknya.

Perkembangan informasi dan teknologi yang semakin pesat membawa dampak pada perkembangan demokrasi. Pengguna internet di Indonesia sebesar 132.7 miliar dari 262.0 miliar jumlah penduduk Indonesia, sehingga setengah jumlah penduduk Indonesia adalah pengguna aktif internet.

Internet menjadi media kampanye bagi para politisi selain itu dengan berubahnya era Web 1.0 (berbasis read-only web) ke era Web 2.0 (participatory web) di mana publik dapat menciptakan kontennya sendiri dan melibatkan pengguna sebagai partisipan aktif dalam setiap kontennya.

Dengan demikian Internet adalah media yang sulit dikendalikan oleh siapa saja termasuk pemerintah. Karenanya internet dalam dunia politik saat ini memiliki peran penting dalam proses mentransfer informasi kepada public dari para pelaku politik.

Lalu sejauh mana media mempengaruhi keputusan-keputusan seorang Individu dalam politik dan demokrasi?

Politik adalah sesuatu yang diperuntukkan publik yang akan membentuk suatu tatanan global untuk sebuah negara yang pada nantinya akan mengacu pada regulasi-regulasi yang signifikan untuk kepentingan masyarakatnya. Sedangkan demokrasi pada intinya memberikan kekebasan kepada warga negara baik secara langsung atau terwakili untuk memilih dan ikut berpatisipasi dalam pembuatan regulasi/ hukum negara.

Dalam hal ini peran masyarakat atau "kita" sebagai pemilih dalam pesta demokrasi nantinya menjadi penting untuk keberlanjutan dan pembangunan bangsa kita ke depannya. Lalu bagaimana media saat ini menjadi penting untuk kita pahami sebagai pemilih, dalam psikologi politik media menjadi hal yang signifikan dalam proses berpikir hingga proses pengambilan keputusan dari seorang pemilih terhadap kandidat politisi.

Manusia bereaksi atas pilihan dan nilai yang dianutnya berdasarkan dari apa yang didengar dan dilihatnya serta dialaminya, sehingga sumber informasi (media) menjadi sangat penting dalam hal ini.

Politik Identitas dan Media Sosial
Saat ini politik identitas masih menjadi penting di Indonesia dikarenakan Indonesia adalah negara yang multi etnis dan agama. Identitas masih menjadi sangat penting bagi pemilih. Pemilih akan memiliki kecenderungan untuk lebih memilih kandidat yang memiliki identitas yang sama dengannya.

Identitas adalah segala sesuatu yang melekat dengan diri kita sebagai individu seperti etnisitas, agama, dan bahasa menjadi sebuah identitas yang melekatkan kita pada suatu kelompok dan diakui menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Pembentukan images melalui media menjadi penting bagi seorang politisi khususnya di Indonesia hal ini terkait dengan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kolektif sehingga penilaian-penilaian atas personalitas kandidat menjadi penting bagi masyarakatnya.

Sebagai figur masyarakat, politisi harus siap berbagi ruang personalnya kepada publik. Hal ini menyebabkan tingginya ekspektasi moral dari publik terhadap politisi, dan itu menjadi faktor utama dalam terbentuknya politik identitas itu sendiri.

Para pelaku politik praktis memahami betul bagaimana identitas dapat mempengaruhi keputusan politik para pemilih sehingga para politisi akan menyesuaikan identitas dengan nilai-nilai yang dianut oleh para pemilih, misalnya dengan mengenakan symbol-simbol identitas dari kelompok pemilih, saat ini yang paling banyak digunakan adalah symbol keagamaan.

Beberapa penelitian yang dikembangkan untuk memprediksi kemenangan partai atau politisi dalam praktik pemilu langsung ditemukan faktor implisit (faktor-faktor yang tidak disadari) menjadi hal yang tidak bisa dianggap remeh. Hal-hal yang tidak disadari menjadi faktor yang menentukan dalam pemilih memutuskan pilihannya di dalam bilik suara.

Agama dan etnisitas menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi manusia dalam bertindak baik secara sadar ataupun tidak disadari, dalam hal ini penulis lebih fokus pada perilaku implisit atau perilaku yang tidak disadari.

Pada penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan menggunakan IAT (Implicit Association Test) yang berfokus pada etnisitas dan agama, ditemukan secara tidak disadari agama menjadi faktor utama dalam keberpihakan seseorang pada satu kelompok atau seseorang.

Dalam eksperimen yang dilakukan, partisipan penelitian yang beragama Islam dalam persekian detik lebih memilih kelompok stimulus yang terdiri dari nama-nama orang yang identik dengan agama Islam atau Arab seperti "Muhsin". Sedangkan kelompok partisipan yang Beragama non-Muslim lebih berpihak pada kelompok nama-nama berbahasa latin atau identik dengan agama nasrani (seperti; Phillipe).

Hasil penelitian ini menunjukkan 98% dari setiap kelompok berdasarkan kelompok agama akan berpihak secara tidak sadar kepada kelompoknya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa agama menjadi sangat penting dalam menentukan perilaku seorang individu secara tidak disadari.

Bias dalam Politik di Indonesia
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh riset masyarakat telematika Indonesia pada tahun 2017, jenis hoaks yang paling sering diterima adalah sosial politik (Pilkada, pemerintah) berada di urutan pertama sebesar 91.80% dan di urutan kedua adalah SARA (suku, agama dan ras) sebesar 88.60%.

Bias dalam hal ini merupakan bias kognitif pada para pemilih yakni adanya kesalahan dalam berpikir atau menilai sesuatu karena berdasarkan penilaian subyektif berdasarkan pengetahuan, nilai, atau pengalaman dari individu tersebut. Terjadinya bias pada dasarnya disebabkan adanya proses stereotype/generalisasi yang berujung pada prasangka hingga pada akhirnya berujung pada perilaku diskriminasi.

Sejauh yang kita ketahui saat ini isu-isu agama dijadikan sebagai senjata dalam saling menjatuhkan satu sama lain, sebagai pemilih sudah seharusnya kita paham benar fungsi agama dalam hal ini untuk membantu kita dalam memutuskan dan bertindak, agama menjadi salah satu bagian dari identitas kita sehingga sangat sulit untuk terlepas dari nilai tersebut.

Karenanya dalam teori konflik menyatakan bahwa konflik yang disebabkan oleh isu-isu ideologis seperti agama dan etnis dapat menyebabkan konflik yang tidak realistis, sehingga konflik antar-agama/kepercayaan dan antar-etnis adalah konflik yang sangat sulit untuk ditemukan solusinya. Terutama dalam membentuk konsensus dan perdamaian, konflik tersebut juga cenderung akan berulang.

Secara otomatis kita akan lebih berpihak pada kelompok yang memiliki nilai yang sejalan dengan nilai yang kita anut, hal ini harus dipahami oleh masyarakat Indonesia sebagai pemilih. Memahami bagaimana proses kerja kognitif atau mental dalam keberpihakan dan prasangka adalah proses yang berjalan di alam bawah sadar dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kita anut serta pengalaman yang kita telah lalui.

Memilih merupakan sebuah proses yang melibatkan rasa suka dan tidak suka dan proses ini berada dalam tataran afeksi (rasa) sangat emotional dan intimate namun harus dieksekusi dalam sebuah tindakan sadar yakni memilih kandidat dengan proses rasionalitas.

Menjadi sadar akan bias yang dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak disadari akan membantu pemilih untuk lebih memahami subjektifitasnya dalam proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini kita sebagai pemilih harusnya menjadi lebih bijak dalam memilih media dan mencari informasi yang faktual dan menganalisa setiap pilihan dan dengan keterbukaan era internet pemilih seharusnya lebih mampu melakukan proses cek dan ricek atas berita atau informasi yang didapatnya.

Marilah menjadi pemilih yang cerdas dan bijak dengan sadar sesadarnya bahwa nilai-nilai yang kita anut akan mempengaruhi kita secara subjektif dalam menilai sesuatu demi sebuah keputusan yang rasional dan cerdas dalam menentukan perkembangan dan kemajuan bangsa kita tercinta. Akhir kata penulis mengucapkan mari menyongsong gegap gempita pesta demokrasi bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika, selamat Memilih dengan cerdas April 2019.

Wuhan, Maret 2019.

(Patmawaty Taibe - Dosen Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Makassar, Peneliti pada PUKAT Social Budaya dan Ekonomi PPIT, Ph.D. Candidate pada School of Psychology Central China Normal University)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun