Pertama, tingginya nilai investasi China di Asia Tenggara akhir-akhir ini secara umum, terutama terkait dengan proyek infrastruktur. Penting dicatat, di Laos dan Kamboja porsi investasi si "panda" sangat besar, yaitu masuk dalam urutan 1 dari 10 peringkat teratas sumber FDI di Laos. Pada 2017, total 10 sumber FDI teratas di Laos adalah US$ 1.689 juta (99,6% dari total nasional), sementara China menyumbang 77.5%. Di Kamboja, total 10 teratas sumber FDI yaitu US$ 2.548 juta (93,3%) sedangkan China menyumbang 22,6% (ASEAN Secretariat, 2017, 11 & 15). Investasi China di kedua Negara tersebut menarik. Karena kedua Negara itu memiliki "gap ekonomi" yang cukup dalam dengan dua tetangga lainnya, yaitu Thailand dan Vietnam.
Dengan gap ekonomi tersebut maka relasi dengan kedua tetangga "kaya" relatif kurang setara. Meningkatnya hubungan perekonomian China dengan Laos dan Kamboja, sulit disangkal membuka ruang-ruang pasar baru yang mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Sehingga gap ekonomi dengan Negara tetangga semakin menipis. Hal tersebut menumbuhkan kepercayaan diri Laos dan Kamboja dalam bernegosiasi dengan Vietnam dan Thailand. Â Â
Kedua, pergeseran orientasi kebijakan luar negeri Filipina dan Vietnam dalam konteks isu Laut China Selatan (LCS). Filipina, yang merupakan mitra dekat AS sepanjang sejarah berdirinya sebagai Negara berdaulat, merupakan salah satu dari Negara yang terlibat dalam konflik klaim. Sebelum era Redrigo, Filipina merupakan pihak yang cukup kuat dalam memperjuangkan posisinya dalam sengketa perairan tersebut.
Bahkan hingga membawa persoalan itu ke  Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-bangsa di Den haag. Lebih jauh, Mahkamah Arbitrase memenangkan tuntutan Filipina. Namun menariknya di era Redrigo, Filipina justeru menggeser sikapnya, dari yang sangat konfrontatif, menjadi sangat lunak terhadap China. Perilaku Filipina yang berbalik 180 derajat tersebut, mudah dipahami, terutama terkait dengan konteks menguatnya pengaruh ekonomi-politik Tiongkok di Asia Tenggara. Bersinergi dengan Tiongkok lebih menguntungkan bagi Filipina dari pada berseberangan.
Di sisi lain, Vietnam yang Komunis justeru merapatkan diri ke Amerika yang Kapitalis. Obama pada 2016 mengakhiri embargo penjualan senjata ke Vietnam dan untuk kali pertama pada 2017 Vietnam mengimport senjata dari AS (SIPRI, 2017). Pengalaman sejarah perang dengan China pada 1979 (disamping konflik klaim di LCS) menjadi konteks relevan bagi perilaku Vietnam tersebut. Dari sudut pandang Vietnam, Amerika merupakan satu-satunya Negara yang dapat diharapkan untuk membendung "nafsu" ekspansi China. Sehingga pilihan rasional bagi Vietnam adalah merapatkan hubungan dengan Paman Sam.
Kedua peristiwa tersebut (meningkatnya secara signifikan investasi China di Laos dan Kamboja dan pergeseran sikap Filipina dan Vietnam), menjadi indikator meyakinkan bahwa China telah meningkatkan pengaruhnya secara signifikan di Asia Tenggara. Sehingga sejarah dominasi AS di kawasan ini mulai bergeser dan Asia Tenggara telah memasuki fase baru struktur kekuasaan. Asia Tenggara hari ini tidak lagi berada dalam bayang-bayang hegemoni Amerika. Kebangkitan Tiongkok merubah peta struktur kekuasaan di Asia Tenggara, dari yang sebelumnya berbasis hegemoni Amerika, sekarang telah memasuki fase perimbangan kekuatan (balance of power) paska kebangkitan Sang Naga. Â
Penulis
Sugiarto Pramono
Peneliti di PuKat Belt and Road Initiatives, PPIT; Kandidat Doktor di Shandong University; dan Dosen Hubungan Internasional di Universitas Wahid Hasyim Semarang), dapat dihubungi melalui email: sugiartopramono@unwahas.ac.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H