Mohon tunggu...
PPI TIONGKOK
PPI TIONGKOK Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Made in China 2025, Strategi China Menggeser Dominasi Barat

13 Desember 2018   19:56 Diperbarui: 13 Desember 2018   20:04 2117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintahan Xi Jinping yang mulai berkuasa sejak Maret 2013 terus meluncurkan strategi baru untuk membawa China menjadi negara adidaya. Setelah proyek Belt and Road Initiative yang diluncurkan pada 2013, China kembali mengeluarkan strategi baru yaitu Made in China 2025.

Strategi tersebut sebetulnya diumumkan secara resmi pada Mei 2015, dan saat ini kembali diperbincangkan oleh pengamat ekonomi China setelah Presiden Trump mulai menerapkan pembatasan terhadap investasi China di industri teknologi Amerika Serikat yang mulai berlaku November lalu. Dan diduga pembatasan itu berkaitan dengan ketakutan Presiden Trump terhadap strategi tersebut.

Made in China 2025 adalah strategi China untuk menghilangkan ketergantungan China terhadap teknologi asing dan mengangkat industri hi-tech China selevel  dengan Barat hingga mampu menjadi market leader dalam industri teknologi global. Strategi ini terinspirasi oleh strategi industri 4.0 Jerman yang bertujuan untuk meningkatkan industri dengan penggunaan hi-tech yang dapat menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam produktivitas, efisiensi dan ketepatan.

Terdapat sepuluh jenis industri manufaktur teknologi  yang ingin dikembangkan China melalui strategi ini, diantaranya adalah industri teknologi informasi canggih termasuk artifial intellegence hingga quantum computing, industri peralatan mesin otomatis dan robotika, industri aerospace dan aeronautika, industri peralatan maritim dan pengiriman berteknologi tinggi, industri transportasi kereta api modern, industri kendaraan nir-awak (self-driving), dan kendaraan dengan energi terbarukan, industri peralatan listrik, industri pertanian, industri bahan baku, dan industri biomedis.

Strategi ini diharapkan dapat menciptakan kemandirian teknologi China agar mampu mencapai swasembada teknologi dalam negeri. Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan kandungan domestik komponen inti dan bahan dasar industri teknologi  China menjadi 40 persen pada tahun 2020 dan 70 persen pada tahun 2025.

Dengan kata lain, inisiatif ini adalah langkah awal China untuk mendorong inovasi domestik di industri teknologi maju yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi China dalam industri teknologi secara global. Dengan strategi ini, Pemerintah China berupaya utuk menggeser konsentrasi manufaktur China dari low cost manufacturing menuju ke high tech manufacturing yang diharapkan mampu membantu China lolos dari "middle-income trap" sebagaimana yang dikeluhkan oleh negara-negara berkembang lainnya.

Selain itu kemandirian teknologi China diharapkan juga mampu mengurangi ruang untuk campur tangan Amerika Serikat dan membuat China tidak rentan terhadap sanksi ekonomi. Meningkatkan daya saing industri teknologi China hingga dapat menghapus dominasi Barat dalam industri teknologi.

Untuk mencapai ambisi tersebut, pemerintah China memompa investasinya di sektor teknologi canggih dan vital yang saat ini masih didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa. Dalam hal ini, Pemerintah China memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan teknologi China yang ingin mengakuisisi perusahaan teknologi Barat.

Tidak hanya itu, pemerintah China juga telah mengalokasikan 2 persen dari GDP-nya untuk program R&D agar dapat mendukung ambisi tersebut. Alokasi dana R&D tersebut mengalami kenaikan 14 persen dari tahun 2017 dan 70 persen sejak tahun 2012.

Respon Amerika Serikat

Perang tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Trump terhadap sektor strategis China merupakan respon terhadap strategi Made in China 2025. Munculnya strategi tersebut membuat Amerika Serikat merasakan timbulnya ancaman terhadap dominasi teknologi yang selama ini menjadi unggulannya di pasar global.

Penerapan tarif tersebut selain diharapkan dapat memangkas defisit perdagangan antara kedua belah pihak, tetapi juga ditujukan untuk menghentikan rencana Beijing untuk mendominasi industri teknologi canggih di bawah cetak biru "Made in China 2025."

Menurut Amerika Serikat, strategi ini merupakan kecurangan yang dilakukan China untuk mengambil alih secara paksa penguasaan teknologi mereka melalui program investasi dan akuisisi yang digalakkan perusahaan-perusahaan China di negara Barat beberapa tahun terakhir. Praktik tersebut dianggap sebagai pencurian kekayaan intelektual yang dilakukan oleh China secara nyata.

Para Ahli mengatakan bahwa apa yang dilakukan China adalah upaya untuk mengambil alih dominasi Barat dalam teknologi dan berusaha untuk menjadi penguasa pasar dalam industri teknologi canggih. Selain penerapan tarif terhadap sektor strategis China, Pemerintah Amerika Serikat juga mengeluarkan aturan baru yang membatasi kepemilikan investor China dalam industri teknologi yang mereka anggap penting.

Perusahaan-perusahaan dengan 25 persen kepemilikan China dibatasi untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan teknologi Amerika Serikat. Pembatasan ini tentunya merupakan upaya Amerika Serikat untuk memotong akses China untuk bisa masuk ke industri teknologi mereka.

Kebangkitan Huawei Ancaman bagi Amerika Serikat

Huawei adalah salah satu contoh perusahaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi China yang menjadi pelopor strategi Made in China 2025. Saat ini Huawei telah beroperasi di 170 negara di dunia dengan 180.000 karyawan.

Merujuk data IHS Markit, pada tahun 2017 Huawei telah menjadi vendor infrastruktur jaringan telekomunikasi terbesar di dunia. Pangsa pasar Huawei telah melampaui Ericsson dan Nokia. Huawei menguasai 28 persen pangsa pasar infrastruktur jaringan telekomunikasi di dunia, sedangkan Ericsson menguasai 27 persen, dan Nokia 23 persen.

Selain itu Huawei adalah produsen ponsel terbesar kedua di dunia saat ini di bawah Samsung dan juga telah  mengembangkan bisnis teknologi canggih lainnya seperti perangkat pintar, layanan cloud, dan artificial intelligence. Sebagai salah satu perusahaan andalan China di sektor teknologi, Huawei memainkan peran kunci dalam ambisi negara untuk menjadi negara adidaya di bidang teknologi. Huawei telah menjadi pionir dalam mengembangkan teknologi 5G dan mendukung rencana utama China untuk mendominasi peluncuran jaringan nirkabel super cepat.

Amerika Serikat sejak awal 2018 telah melarang penggunaan peralatan Huawei dalam jaringan komunikasi dan menyerukan agar pemerintah negara lain untuk mengikutinya. Namun demikian, di semua bagian dunia, bahkan di Amerika, pasar untuk produk Huawei telah berkembang selama tiga tahun terakhir.

Untuk mempersempit ruang gerak Huawei, Amerika Serikat juga menghentikan kemitraan penelitian antara Huawei dengan universitas-universitas di Amerika Serikat. Innovation Research Program milik Huawei saat ini bekerja sama dengan lebih dari 200 universitas di dunia, dan belasan diantaranya berada di Amerika Serikat.

Tuduhan bahwa Huawei membawa ancaman kepada keamanan nasional Amerika Serikat memang bukan hal yang baru. Akan tetapi pada tahun 2018, pemerintah Amerika Serikat semakin tegas dalam mempersempit ruang gerak Huawei termasuk dengan penangkapan Meng Wanzhou selaku CFO Huawei belum lama ini.

Chairman Huawei Eric Xu menekankan bahwa kemitraan dengan universitas Amerika Serikat memiliki fokus dalam pengembangan sains bukan produk komersial. Namun sikap Amerika Serikat terhadap Huawei merupakan bukti nyata akan ketakutan mereka terhadap perkembangan teknologi China melalui Made in China 2025 yang mengancam dominasi mereka.

Imbas Ketegangan Amerika Serikat & China

Tampaknya ketegangan antara China dan Amerika Serikat belum akan berakhir dalam waktu dekat. Kesepakatan "genjatan senjata" perang dagang selama 90 hari belum akan menemui kata sepakat. Apalagi pasca penangkapan CFO Huawei belum lama ini yang dikhawatirkan akan menambah eskalasi ketegangan antara kedua belah pihak.

Amerika Serikat yang sejak awal menuduh China melakukan pencurian teknologi seakan mendapatkan justifikasi dengan penangkapan petinggi Huawei tersebut. Sedangkan China berada dalam posisi tawar yang lemah dengan penangkapan tersebut.

Kondisi ini tentunya semakin tidak menguntungkan bagi negara-negara mitra dagang China termasuk Indonesia. Ketidakpastian terhadap berlangsungnya perang dagang menyebabkan kekhawatiran para investor dan pelaku usaha.

Jika perang dagang akan tetap berlangsung, ekonomi China akan melambat dan tentunya akan berimbas pada ekspor Indonesia ke China yang mengalami penurunan seiring melemahnya ekonomi China. Dan penurunan ekspor tersebut akan berdampak pada neraca perdagangan internasional Indonesia yang tidak sehat.

Penulis

Hilyatu Millati Rusdiyah
*Mahasiswi Doktoral jurusan Business Administration di School of Economic and Business Administration Chongqing University & Kepala Pusat Kajian Strategis Belt and Road Initiative PPI Tiongkok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun