Mohon tunggu...
aditya
aditya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Pendidikan Sejarah/Universitas Galuh

Sejarah merupakan sesuatu yang unik... Ketika sejarah bertemu filsafat kita akan menemukan hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tri Tangtu di Buana Bentuk Lama dari Trias Politica Pada Masa Lalu di Indonesia

3 Januari 2023   21:59 Diperbarui: 3 Januari 2023   22:01 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Trias Politica menjadi bentuk sistem pemerintahan di negara Indonesia pada saat ini. Penerapan Trias Politica pada bentuk pemerintahan negara Indonesia sendiri sudah ada sejak lama. Trias Politica sendiri diambil dari Bahasa Yunani yakni “Tri” yang berarti tiga, “as” yang berarti poros atau pusat, dan “politica” yang berarti kekuasaan. Makna dari trias politica sendiri berarti kekuasaan suatu negara berada pada 3 pusat lembaga yakni legistalif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep trias politica sendiri pertama kali diperkenalkan oleh filsuf asal francis yakni Montesquieu pada tahun 1748. Konsep ini hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. Dengan adanya pemisahan kekuasaan, bentuk absolute dalam gaya kepemimpinan pun berkurang.

Pada pokoknya ajaran trias politica sendiri harus ada tiga jenis kekuasaan yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing-masing dari ketiganya merupakan lembaga yang dipegang oleh orang-orang yang berbeda. Ketiga kekuatan ini memegang peran yang berbeda-beda yakni legislatif yang bertugas membuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, dan yudikatif yang memegang kekuasaan atas keadilan dari pelanggar undang-undang.

Pelaksanaan trias politica secara murni sesuai ajaran Montesquieu adalah tidak mungkin. Pemisahan lembaga yang tidak dapat dicampurtangani oleh lembaga lainnya sangat sulit dilakukan. Terkadang pembuatan Undang-undang yang harusnya menjadi fokus legislatif diikut campuri oleh eksekutif, begitupun hubungan yang lainnya. Untuk menangani hal ini pemerintah Indonesia menganut prinsip hubungan saling mengawasi dan mengimbangi. Konsep trias politica ini bahkan sudah dianut dibeberapa negara islam, dengan alasan konsep ini lebih berpotensi besar mensejahterakan masyarakat.

Namun sebenarnya konsep Trias Politica sendiri sudah ada sejak lama di Indonesia, tepatnya pada masa kerajaan. Bukti adanya trias politica pada masa kerajaan bisa dilihat dalam “Fragmen Carita Parahiangan” bahwa bentuk kekuasaan pemerintahan pada saat itu dibagi dalam tiga kelompok atau yang lebih dikenal dengan “Tritangtu di Buana”.

Trias Politica sebagai bentuk pemerintahan di Indonesia memiliki berbagai keuntungan untuk masyarakat luas. Pembagian kekuasaan negara menjadi tiga bagian mendorong kesejahteraan masyarakat dan meminimalisir terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau bentuk pemerintahan yang otoriter. Dalam sisi hukum syiasah sendiri Trias politica dipandang sangat baik. Sesuai dengan dalil  QS An-Nissa ayat 58-59 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Konsep ini dipakai pada masa khulafaur rasyidin yang mana pembagian tersebut meliputi Khalifah sebagai lembaga eksekutif, Majelis Syuro’ sebagai lembaga legislatif, dan Qodhi sebagai lembaga Yudikatif. Oleh karena itu baik tentunya menerapkan konsep trias politica itu sendiri sebagai konsep pemerintahan di negara Indonesia.

Namun sebenarnya jauh sebelum adanya pengaruh islam dan pengaruh bangsa lain di Indonesia, konsep lain yang mirip seperti Trias politica sudah digunakan di Indonesia. Konsep tersebut adalah Tri Tangtu Dibuana yang hadir pada masa kerajaan di tanah Sunda.

Nama Tri Tangtu Dibuana sendiri dapat kita temukan dalam Fragmen Carita Parahyangan yang menceritakan tentang kekuasaan kerajaan ditanah Sunda. Tri Tangtu di Buana sendiri memiliki arti tiga golongan yang menentukan kekuasaan didunia. Adapun tiga golongan tersebut adalah Prabu atau ratu yang bertugas menjalankan pemerintahan, Rama yang bertugas menentukan pijakan atau aturan pemerintah, dan Resi yang menjadi wakil dari dewa sebagai pengadil. Pembagian kekuasaan ini sukses membawa Tarumanaga (yang selanjutnya menjadi kerajaan Pajajaran) dan kerajaan Galuh mencapai kesejahteraan masyarakat.

Penerapan Tri Tangtu Di Buana pada masa kerajaan sendiri tidak hanya di pusat kerajaan saja. Masing-masing pemerintahan daerah dalam kerajaan tersebut juga menerapkan konsep tri tangtu dengan rama, resi, dan ratunya masing-masing, mungkin pada masa ini disebut otonomi daerah provinsi atau kabupaten.

Hebatnya Tri Tangtu di Buana dalam hal ini tidak hanya memaparkan tugas dan keawajiban setiap lembaga saja. Dalam Fragmen Carita Parahiangan kita bisa menemukan syarat watak seseorang bisa menjadi bagian dari Tri Tangtu di Buana.

  • Ratu/Prabu
    Ratu atau Prabu sendiri merupakan pemimpin dalam kerajaan, jika kita sandingkan dengan Trias Politica, Ratu adalah lembaga eksekutif dalam pemerintahan. Dalam menjalankan kewajibannya sebagai kepala pemerintahan saat itu ada syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Ratu atau Prabu yakni “sang prebu itu harus ngagurat batu” (menggores batu). Makna ngagurat batu disini adalah seorang pemimpin harus mempunyai watak yang kuat dan teguh dalam menjalankan aturan-aturan yang ada.
  • Rama
    Selanjutnya Rama yang merupakan tetua masyarakat, dimana dia menjadi pewakil suara masyarakat pada masa itu kepada pihak kerajaan. Dalam menjalankan tugasnya “sang Rama itu harus Ngagurat Lemah” (menggores tanah), maknanya adalah Rama sebagai penyampai suara harus memiliki watak yang bisa menentukan pijakan atau aturan bagi para pelaksana pemerintah. Tugas tersebut berbanding lurus dengan tugas lembaga legislatif dalam konsep trias politica.
  • Resi
    Terakhir adalah Resi yang dianggap sebagai wakil dari Hyang (sebutan untuk Tuhan). Sebagai orang yang dianggap paling suci, “Sang Resi itu harus Ngagurat Cai” maknanya Resi harus memiliki watak yang menyejukan hati dan adil kepada semua orang. Dalam Trias Politica sendiri tugas pengadil di berikan kepada lembaga Yudikatif. 

KESIMPULAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun