Dalam era yang semakin nuntut adanya sustainability, transisi menuju energi terbarukan (EBT) berhasil jadi fokus utama untuk mengatasi tantangan-tantangan terkait perubahan iklim dan ketergantungan pada sumber daya energi konvensional yang terbatas.
Upaya ini gak cuma bertujuan untuk ngurangin emisi gas rumah kaca yang berdampak negatif buat lingkungan, tapi juga untuk mastiin bahwa pasokan energi di masa depan lebih aman, bersih, dan bisa diandalkan.
Selain itu, pengembangan EBT diharapkan bisa ngedorong inovasi teknologi, nyiptain lapangan kerja baru, dan ningkatin ketahanan ekonomi dengan ngurangin ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.
Namun, di tengah upaya global untuk ngadopsi teknologi-teknologi baru ini, seringkali peran wanita/perempuan dalam proses ini gak dapet "perhatian" yang seharusnya.
Perempuan seringkali jadi garda terdepan dalam memanfaatkan energi lokal di tempat tinggal mereka. Contohnya sederhana yang bisa ditemukan di kehidupan sehari-harinya gini; Sebut aja seorang ibu rumah tangga di sebuah desa yang pake energi angin untuk ngeringin pakaian keluarganya, yang udah dia cuci sebelumnya. Ya.. walaupun mungkin cuma kayak aktivitas biasa aja, penggunaan energi angin dengan cara tradisional oleh perempuan ini, nunjukin kalau adanya adaptasi lokal yang efektif terhadap sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya.
Contoh lain, di  tempat yang lain, ada petani garam yang ngandelin panas matahari untuk memproduksi butiran-butiran garam. Proses itu gak cuma memanfaatkan sumber daya terbarukan secara langsung, tapi juga menunjukan kearifan lokal dalam mengoptimalkan energi matahari untuk kebutuhan ekonomi lokal.
Gak cuma itu, gak jarang kita temui perempuan yang menginisiasi instalasi biomassa dari limbah ternak, untuk memproduksi gas masak di rumah mereka. Tindakan tersebut gak cuma ngurangin polusi udara akibat pembakaran bahan bakar fosil, tapi juga ngurangin ketergantungan pada kayu bakar tradisional yang merugikan lingkungan.
Walaupun punya peranan besar dalam pemanfaatan energi lokal di kehidupan sehari-harinya, perempuan sering kali "dilewatkan" dalam strategi dan perwujudan transisi EBT secara lebih luas. Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan implementasi program-program energi terbarukan masih sangat terbatas, bahkan di negara-negara maju sekalipun. Padahal eksistensi perempuan penting banget, dan bisa berpotensi dilibatkan dalam pengimplementasian program-program energi terbarukan.
Misalnya dalam beberapa proyek pengembangan energi terbarukan, perempuan didorong untuk jadi operator atau teknisi listrik yang bertanggung jawab atas instalasi pemeliharaan di desa-desa. Hal itu ngasih bukti bahwa perempuan punya peranan aktif dalam mengoperasikan dan memelihara sistem energi terbarukan. Selain itu, beberapa perempuan aktif berpartisipasi dalam diskusi daring dan forum yang ngebahas tentang isu-isu energi terbarukan.
Mereka ngasih kontibusi dengan ngadvokasi keberlanjutan bumi dan sharing best experience mereka untuk make sure tentang pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berorientasi gender.
Peran perempuan dalam pembuatan kebijakan energi, penting banget. Mereka harus diperhitungkan dalam perencanaan dan implementasi program energi. Melalui kesadaran dan edukasi, perempuan bisa ngurangin konsumsi energi rumah tangga dan ngedorong penggunaan sumber energi terbarukan.
Oxfam, organisasi yang berkomitmen untuk melawan kemiskinan dan ketidakadilan secara global, nekenin pentingnya bagi perempuan untuk ngembil bagian dalam transisi energi adil. Perempuan memainkan peran penting dalam transisi energi lokal dan ngebantu menyelaraskan tradisi dengan teknologi canggih. Dengan ningkatin partisipasi mereka dalam ngambil Keputusan dan pelaksanaan program energi terbarukan, kita bisa ningkatin efektivitas penggunaan energi di tingkat komunitas dan mendukung keadilan dan inklusi dalam pembangunan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H