Kota menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan kebudayaan, keberagaman yang hadir pada suatu kota membuahkan hasil-hasil kebudayaan perkotaan.Â
Kebudayaan 'kota' ini menjadi penanda dari kehadiran sebuah kota yang memiliki peran sebagai melting pot, dimana secara tidak langsung berbagai etnis yang mendiami wilayah kota akan berbagi peran dalam proses peleburan kebudayaan yang ada.Â
Perlu dipahami jika etnis merupakan kelompok masyarakat yang dapat diidentifikasi berdasarkan persamaan identitas kebudayaan, persamaan disini dapat berupa bahasa, perilaku, agama, atau apapun yang menjadi unsur pembentuk budaya. Sedangkan melting pot merupakan tempat bertemunya keberagaman dan terjadi proses peleburan yang menciptakan identitas kebudayaan baru yang bersifat homogen, hal ini berbeda dengan salad bowl yang menggabungkan keberagaman menjadi satu bentuk baru dengan mempertahankan bentuk asli dalam satu wadah yang sama. Â
Salah satu kota yang menjadi melting pot ialah Jakarta, perkembangan kota ini dalam berbagai masa pemerintahan baik Kolonial, Jepang dan republik pasca kemerdekaan terus berdampak bagi kepopulerannya sebagai tempat dari berbagai macam etnis. Jakarta atau dahulu lebih dikenal sebagai Batavia merupakan pusat pemerintahan kolonial, hal tersebut membuat Batavia menjadi berkembang sebagai sebuah kota yang memancing kehadiran berbagai macam etnis.Â
Hubungan antar etnis pada masa ini dipisahkan oleh klasifikasi etnis yang terbangun dalam stratifikasi sosial yang dibentuk oleh orang-orang Eropa di Batavia, pembagiannya atas dasar politik-ekonomi dimana bagian teratas diduduki oleh orang Eropa, kemudian terdapat etnis Tionghoa dan di paling bawah ialah etnis pribumi (pada masa ini orang Eropa menggunakan istilah pribumi tanpa mendeskripikan etnis yang terdapat didalamnya).
Salah satu hasil dari keberagaman etnis yang muncul di Batavia atau jauh sebelum itu ialah terbentuknya masyarakat Betawi, proses panjang asimilasi antar etnis menghasilkan identitas baru dalam kebudayaan yang membentuk komunitas kebudayaannya itu sendiri.Â
Mengutip dari buku Jakarta Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn, sensus yang dilakukan pada tahun 1673 telah membuktikan keberagaman yang ada pada masa awal Batavia dimana jumlah populasi terbagi atas orang Belanda dengan jumlah 2.024, orang Eurasia 726, orang cina 2.747, orang Mardjiker 5.362, orang Moor dan Jawa 1.339, orang Melayu 611, orang Bali 981, dan budak (yang diambil dari berbagai wilayah baik Nusantara ataupun Asia Selatan dan kawasan lainnya) sejumlah 13.278. Etnis Betawi merupakan percampuran dari berbagai macam etnis yang lebih dahulu mendiami Batavia, hal ini merupakan sebuah hasil dari peran kota sebagai melting pot.
Seiring dalam perkembangannya, Jakarta tetap menjadi kota dengan keragaman etnis yang mendiaminya. Hal ini didukung oleh perkembangan kota sebagai tempat perputaran ekonomi, dampaknya ialah terdorongnya laju urbanisasi dimana perpindahan penduduk ini dilakukan dengan berbagai alasan sesuai kebutuhannya.Â
Keberagaman yang selanjutnya terbentuk ialah budaya kota yang menjangkit kaum milenial dari berbagai etnis yang mendiami Jakarta, sebut saja misalnya bahasa 'Jaksel' yang merupakan percampuran antara bahasa sehari-hari masyarakat Jakarta dengan bahasa Inggris yang terbawa oleh arus globalisasi.Â
Berbagai etnis yang mendiami kota ini tak selalu condong dengan identitas budaya aslinya, standar perkotaan dalam lingkup sosial dan kebiasaan menjadi identitas baru bagi sebagian masyarakatnya.
Keberagaman etnis dari laju urbanisasi ini tak selamanya melebur dan menghasilkan suasana kondusif, penggunaan ruang kota yang terbatas menghasilkan persaingan antar etnis yang telah menjadi masyarakat kota. Tak jarang penggunaan nama etnis terjadi untuk menunjukkan superioritas suatu etnis dalam perebutan pemanfaatan ruang kota, ambil saja contoh pada penggunaan nama etnis pada organisasi masyarakat tertentu untuk pemanfaatan ruang kota sebagai lahan pencarian mereka.Â
Pesatnya perkembangan kota dan ganasnya kondisi kota menjadi salah satu faktor persaingan etnis yang mendiaminya, etnis lokal tak selamanya terbebas dari perebutan ruang kota dan membuatnya tersingkir dari kota itu sendiri. Etnis bukanlah penjamin kehidupan di kota, soft skill menjadi kunci untuk terus bertahan dalam persaingan di kota.
Keberagaman etnis yang berada pada suatu kota dapat menghasilkan peleburan kebudayaan yang menghasilkan identitas budaya tersendiri, namun tak hanya keharmonisan yang ada tetapi persaingan juga terdapat didalamnya. Peleburan kebudayaan antar etnis tak terhentikan selama keberagaman kota masih ada, akses kota tak hanya milik satu etnis pendahulu melainkan untuk siapa saja yang memiliki kepentingan di kota. Kota sebagai melting pot selalu menghasilkan sesuatu yang baru dari keberagaman, sebuah peristiwa menarik dari keberagaman etnis yang ada di kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H