Pada suatu hari, seorang dosen baru masuk ke dalam kelas. Dosen yang belum dikenal oleh para mahasiswanya.
“Sebagai perkenalan..”, sepatah dua patah kata terucap dri mulut sang dosen.“Minggu depan saya akan mengadakan ujian kepada kalian”
Sang dosen mengacungkan sebuah buku. Tidak tebal tapi tidak pula tipis. Sedang-sedang saja.
“Materi yang saya ujikan semuanya dari buku ini”
“Tidak kurang juga tidak lebih”, sambung kata sang dosen. “Semuanya ada di buku ini”
Para jenius tersenyum simpul. Bagi mereka tak sulit untuk menguasai materi dalam seminggu. Apalagi hanya mengutip satu buku. Sementara sang juru kunci dan mahasiswa yang bodoh terlihat mengeluh. Membayangkan betapa beratnya bagaimana memahami materi yang ada di satu buku itu.
Para jenius dengan tekun membaca lembar demi lembar buku yang diberikan oleh sang dosen. Dengan kemampuan memori fotografiknya, mereka menghayati kata demi kata yang tertulis di dalam buku itu. Titik dan koma-pun tak luput dari perhatian mereka. Tapi mereka tidak membaca kata pengantar dan halaman yang paling belakang. “Ah buat apa… yang penting isi dari buku itu…”, begitulah pikirnya.
Sementara mahasiswa-mahasiswa idiot mengeluhkan dan meratapi materi yang diujikan. Mereka hanya membolak-balik buku itu tanpa tahu bagaimana caranya mereka memahami materi yang dituliskan dalam buku itu. Dibolak-balik saja. Akhirnya yang terbaca hanyalah kata sambutan serta halaman belakang buku itu. Isinya? Jangan tanya…
Namun ketika ujian tiba, para jenius terpucat mukanya. Sementara para idiot tersenyum simpul.
Apa pasal? Pertanyaan yang diajukan oleh sang dosen ternyata hanya pokok-pokok yang tertulis di dalam kata pengantar dan halaman belakang buku itu.
Tak kurang dan tak lebih.
Sekedar menanyakan nomor ISBN dari buku itu, siapa pengantar yang memberikan sambutan dalam pendahuluan buku itu serta tak lupa cetakan ke berapa dan tahun terbitnya buku itu.
Bagaimana dengan isi dari buku itu?
Tidak ditanyakan. Satu huruf-pun…
Akhirnya dalam penilaian akhir ujian itu. Para jenius mendapatkan nilai yang biasanya didapatkan oleh para mahasiswa idiot. Dan mahasiswa idiot akhirnya mendapatkan nilai yang biasanya diberikan kepada para jenius.
Namun, tak habis pikir seorang pengamat melihat fenomena yang aneh itu.
Sang dosen belum dikenal oleh para mahasiswanya. Sang dosen adalah orang baru.
Tapi kenapa tak terpikirkan oleh para mahasiswanya untuk mendekat dan mengenal jauh lebih intim dengan sang dosen? Bukannya jika mereka telah kenal akrab bisa jadi sang dosen sedikit memberikan petunjuk tentang ujian yang akan diujikan? Atau bahkan sang dosen dengan sukarela memberikan jawaban atas ujian yang akan diujikan. Karena telah kenal akrab…
Namun tiba-tiba sang pengamat tersadarkan oleh satu hal…
Ternyata ia tidak kenal akrab dengan Tuhannya…
Gambar diambil dari: http://consultanthr.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H