Banyak sekali definisi yang berusaha menjawab apa itu fesyen. Untuk memulai ulasan kali ini, mari sepakat untuk mulai dari salah satu definisi tentang fesyen yang diambil dari buku Malcolm Barnard, Fashion dan Komunikasi, yaitu: berawal dari pelindung tubuh, dengan perkembangan zaman, busana sekarang ini menjadi bentuk pengidentifikasian diri.Â
Definisi ini diteliti selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Desmond Morris, di mana busana bisa mengomunikasikan afiliasi sebuah budaya. Sehingga, tidak menutup kemungkinan bahwa busana bisa menunjukan siapa mereka yang mengenakan, dari kelas sosial mana mereka berasal, dan bagaimana keadaan ekonomi mereka.
Baru-baru ini, Jakarta, khususnya kawasan SCBD (Sudirman Central Business District) menjadi perhatian banyak kalangan, terutama saat akhir pekan.Â
Menjelang akhir pekan, kawasan SCBD biasanya beralih fungsi, yang biasanya sibuk dilalu-lalangi oleh kendaraan, menjadi area olahraga dan rekreasi untuk warga Jakarta dan sekitarnya.Â
Memanfaatkan hal ini, millennial dan gen z dari kawasan satelit sekitar Jakarta, seperti Citayam, Bojonggede, Depok, Bekasi, dan lainnya meramaikan kawasan SCBD dengan cara yang menarik.
Dengan berbusana eksentrik, unik, dan ingin terlihat cantik, remaja atau anak muda yang memenuhi kawasan SCBD tampil maksimal seakan mereka tahu banyak kamera yang mengincar sisi terbaiknya.Â
Pelataran trotoar, penyebrangan zebra cross, dan beberapa area lain yang mereka lalui dianggap panggung catwalk. Kepercayaan diri terpancar dari raut wajah para remaja ini, seakan memberitahu bahwa fesyen seperti ini adalah identitas mereka.
Citayam Fashion Week, fenomena ini begitu menarik untuk dibahas lebih dalam. Menurut Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun yang dimuat di tirto.id -- fenomena ini menunjukan adanya bias kelas yang selama ini dibangun, kosmopolitan identik dengan kelas tertentu, biasanya kelas menengah-keatas dan CFW mendobrak ini semua, serta menciptakan subkultur baru.Â
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mempunyai pendapat yang senada, di mana mereka mempersilakan siapapun untuk menikmati ruang tersebut dengan catatan tetap mengikuti aturan yang ada.
Melihat dan mengetahui hal ini, Citayam Fashion Week sepertinya akan menjadi tren untuk beberapa waktu ke depan dan tidak menutup kemungkinan ada berbagai hal baru yang berpotensi muncul dari fenomena ini.Â
Lapisan paling luar dari Citayam Fashion Week mungkin hanya menunjukan sekelompok remaja menikmati ruang elit di Jakarta dengan fesyen yang mereka punya. Tapi, ada apa di dalam fenomena ini?
Brand dan berbagai pihak terkait lainnya perlu lebih teliti untuk melihat fenomena ini. Berbagai insight menarik yang akan jadi kesempatan brand untuk lebih dekat dengan target audience-nya bisa ada di dalam Citayam Fashion Week.Â
StratX KG Media melihat fenomena ini sebagai aksi yang begitu menarik untuk diketahui lebih dalam, sehingga kami melakukan desk research dan menemukan berbagai poin-poin yang bisa brand nantinya manfaatkan sebagai landasan di strategi komunikasinya. Sila simak ulasan ini sampai selesai.
Ada Apa Saja di Dalam CFW?
Perkembangan CFW bisa dengan mudah dipantau dari berbagai platform media sosial, seperti TikTok, Instagram, Youtube, dan lainnya. Dari konten yang beredar di ekosistem digital, pro dan kontra beragam bermunculan tentang CFW. Mulai dari perilaku remaja ini yang masih suka buang sampah sembarang, sampai munculnya beberapa ikon CFW, menuai banyak komentar.
Ikon-ikon yang bermunculan, seperti Roy, Jeje, Bonge, dan Kurma, sudah mondar-mandir di beberapa kanal Youtube. Mungkin hal ini yang mereka juga cari. Terkenal, punya banyak followers, dan berpotensi mendapat endorse produk.Â
Lalu, sebenarnya -- ada apa saja di dalam CFW ini? Satu hal yang paling jelas mudah terlihat adalah mereka nongkrong dan menghabiskan waktu di beberapa titik area SCBD, salah satunya Dukuh Atas.
Salah satu akun di Instagram yang kerap membagikan konten bertemakan literasi keuangan yaitu finfolkmoney -- di konten dengan topik CFW, menyebutkan kehadiran remaja-remaja ini membuat pedagang starling atau kopi keliling mengalami kenaikan omzet.Â
Kenaikan omzet tersebut cukup signifikan, di dalam kontennya disebutkan pedagang starling ini biasanya mendapat Rp 200.000 saja, tapi dengan fenomena ini, paling sedikit mereka bisa mendapatkan Rp 700.000. Data ini menunjukan para remaja, juga punya daya beli yang bisa diperhitungkan.
Selain nongkrong, beberapa hari yang lalu, tepatnya di akhir pekan, kawasan Dukuh Atas dijadikan area untuk catwalk. Dilansir dari Kompas.com -- area atau lokasi di sekitar stasiun MRT Dukuh Atas menjadi panggung di mana beberapa remaja unjuk kebolehannya berjalan layaknya model fashion show ternama.Â
Setiap remaja yang berjalan selayaknya model menunjukan gaya fesyennya, beberapa penonton meneriakinya. Jelas, hal ini membuat area tersebut mendapat perhatian lebih dari sekitar. Aktivitas tersebut terjadi mulai dari jam 7 malam.
CFW begitu menarik untuk dibahas lebih dalam. Terlepas dari aktivitas apa saja yang terjadi di dalamnya, CFW seperti gerakan budaya yang perlu difasilitasi. Ranny Rastati dengan tulisannya di theconversation.com -- menunjukan CFW sebenarnya bukan barang baru. Hal ini ia ungkap dengan menceritakan kawasan Blok M (Melawai) pada era 80-90an juga menjadi tempat nongkrong remaja seperti ini.
Masih dengan tulisan Ranny -- ia juga menceritakan bahwa Stasiun Harajuku di Jepang menjadi pusat gaya nyentrik, dari punk sampai Lolita yang dipopulerkan oleh anak muda Jepang pada tahun 1964, yang sekarang menjadi cikal bakal salah satu subkultur besar di dunia, yaitu cosplay.
Terlepas dari apa saja yang ada di dalam CFW yang sudah disebutkan sebelumnya, hal menarik yang perlu dipertebal adalah keresahan dibalik fenomena ini. Kebutuhan ruang publik yang bisa dinikmati oleh semua kalangan adalah keresahan pertama yang bisa diketahui.Â
Keresahan selanjutnya berkaitan dengan hasil riset KG Media tentang anak muda Indonesia. Perlu diketahui jumlah anak muda di Indonesia, seperti milenial dan gen z, mulai mendominasi.Â
Dari data Sensus Penduduk 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan dari 270 juta jiwa di Indonesia, milenial 25,87%, gen z 21,88% dan post gen z 10,88%. Dengan jumlah ini, beberapa tahun ke depan, suara anak muda bisa menentukan nasib bangsa.
Survei yang KG Media lakukan di tahun 2022 ini mendapatkan 3.224 responden berusia 17 tahun ke atas dari Sabang sampai Merauke. Sebanyak 49% responden berasal dari Pulau Jawa, 21% dari Pulau Sumatera, 11% dari Pulau Sulawesi, 8% dari Pulau Kalimantan, 6% dari Pulau Bali dan Nusa Tenggara, serta 5% dari Maluku dan Papua.
Survei ini menangkap berbagai keresahan anak muda Indonesia, apa yang membuat mereka kebingungan dan apa yang membuat mereka galau. Secara garis besar, masalah anak muda Indonesia berdasarkan survei ini dibagi menjadi dua: masalah ekonomi dan non-ekonomi.
Dari masalah ekonomi, semua daerah serentak menyatakan bahwa finansial dan sulit mendapat pekerjaan adalah masalah besar mereka. Lalu, dari masalah non-ekonomi, semua daerah juga serentak menyatakan bahwa karir-pekerjaan dan quarter life crisis (jati diri atau self-development) adalah kesulitan yang juga mereka hadapi secara bersamaan.Â
Melihat kenyataan ini, maka tidak heran jika mereka (yang ada di Pulau Jawa, tepatnya di kota-kota pinggir Jakarta) yang mempunyai kegalauan seperti itu berekspresi, bergerak, dan secara tidak sengaja, menciptakan CFW.
Tentang terjadinya CFW, dari riset mengenai aspirasi anak muda Indonesia di tahun 2022 ini, ada beberapa temuan yang menarik yang berkaitan dengan fenomena CFW. CFW sepertinya terjadi karena anak muda di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, memang suka nongkrong atau bersosialisasi. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari data di bawah ini.
Alih-alih suka berkumpul di suatu tempat, salah satu temuan menarik kami lainnya adalah CFW juga terjadi karena keresahan anak muda.
Data  menunjukan bahwa keresahan anak muda seperti ketakutan mereka akan kemapanan/kesuksesan, karir dan pekerjaan, serta cita-cita yang tidak tercapai menjadi mesin dengan tenaga yang besar untuk terselenggaranya CFW. Dari data ini dan kaitannya dengan CFW, mereka mensimulasi citra sukses yang mereka tahu, fashion. Gaya berbusana seperti orang-orang yang lalu-lalang di SCBD adalah indikator sukses menurut mereka.
Masih dari grafik 2, temuan menarik lainnya adalah anak muda Indonesia juga mempunyai keresahan seperti kesulitan bersosialisasi, membangun relasi, sampai pergaulan -- di mana keresahan ini juga jadi tenaga besar untuk mereka menyelenggarakan CFW.
Insight Insight Insight
Mengetahui berbagai penjelasan di atas -- bisa disimpulkan bahwa CFW tidak melulu soal fashion. Mungkin catwalk hanyalah sebagian kecil yang terlihat dari permukaan, berbagai ikon-ikon yang muncul hanyalah penghias belaka, karena ternyata CFW adalah keresahan, kegalauan, sampai ketakutan akan kegagalan anak muda Indonesia.
Layaknya hubungan sebab-akibat, dibalik CFW -- tentu ada keresahan yang bisa diteliti lebih dalam, serta diubah menjadi kesempatan untuk brand dan pihak lainnya untuk ikut andil dalam mengembangkan fenomena ini.
Mengetahui berbagai insight menarik di atas, tentu banyak sekali brand atau pihak terkait yang bisa lakukan, untuk mengakomodir atau minimal menolong generasi muda Indonesia untuk menyelesaikan keresahan dan kegalauannya. Langkah-langkah tersebut bisa diatur dengan apik sehingga brand tetap bisa mendapatkan berbagai tujuannya.
Tindakan Brand Selanjutnya Adalah
Mengetahui beberapa insight di atas, ada beberapa tindakan yang brand bisa lakukan sekarang ini. Tapi, perlu digarisbawahi -- mereka yang ada di ekosistem CFW ini adalah milenial dan gen z yang berada di kota satelit. Artinya, secara kelas sosial, cenderung masuk ke middle-low -- di mana jika brand ingin mendekatkan diri dengan mereka, ada strategi komunikasi yang perlu diubah lagi.
Oleh karena itu, langkah pertama yang brand bisa ambil adalah mengetahui profil mereka dengan detil. StratX bisa bantu brand di langkah fundamental ini dengan menggelar survei, atau IDI dan FGD -- untuk mendapatkan insight yang lebih mendalam dan tajam. Masukan dari mereka tentu akan memengaruhi strategi yang akan brand terapkan selanjutnya.
Setelah mengetahui bagaimana profil mereka, brand atau pihak terkait lainnya sebaiknya siap untuk mendukung dan membantu apa yang menjadi keresahan dan kebutuhan mereka. Alih-alih menjadi sponsor, brand bisa:
1. Brand bisa menyediakan public space yang lebih proper dengan segala fasilitasnya untuk para pelaku CFW.
2. Di dalam penyelenggaraan CFW di tempat baru, brand bisa berikan mereka kesempatan untuk membentuk koneksi atau relasi-relasi baru.
3. Brand bisa bantu mereka dengan memberikan outlet untuk jadi solusi dari segala keresahan mereka.
Masih banyak lagi tindakan yang bisa brand lakukan. Bagian yang perlu dipertebal adalah bagaimana gerakan budaya ini bisa menciptakan industri baru, di mana bisa menguntungkan banyak pihak. Untuk mengetahui lebih lengkap lagi dan disambung dengan diskusi, sila hubungi kami di stratx.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H