Mohon tunggu...
Media Online
Media Online Mohon Tunggu... Editor - Social Media

Travel Story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak yang Kembali Menyatu

28 Agustus 2024   01:00 Diperbarui: 28 Agustus 2024   01:01 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, hujan turun dengan lembut, menyirami jalanan kota dengan aroma tanah basah yang menyegarkan. Di antara hiruk-pikuk orang yang bergegas mencari tempat berteduh, seorang pria berdiri diam di depan sebuah toko buku tua yang kini tertutup tirai tebal. Namanya Adit, seorang arsitek yang baru saja kembali dari perantauan selama bertahun-tahun di luar negeri. Pandangannya tertuju pada papan nama toko yang hampir tak terlihat di bawah cahaya lampu jalan yang temaram. Di sanalah, di tempat yang penuh kenangan, ia pertama kali bertemu dengan wanita yang tak pernah bisa ia lupakan—Rara.

Adit mendesah pelan, memejamkan mata sejenak untuk membiarkan ingatan-ingatan itu berputar kembali di benaknya. Dulu, setiap akhir pekan, mereka selalu datang ke toko buku ini. Mereka berbagi kecintaan yang sama pada sastra, berdiskusi tentang buku-buku yang baru saja mereka baca, dan menghabiskan waktu berjam-jam tanpa pernah merasa bosan. Namun, keadaan memaksa mereka untuk berpisah—Adit harus pergi jauh, mengejar mimpinya, sementara Rara tetap di kota ini, melanjutkan hidupnya dengan caranya sendiri.

Dengan langkah ragu, Adit mulai berjalan menjauh dari toko itu, menyusuri jalan-jalan yang pernah ia kenal dengan baik. Hujan masih turun, kini semakin deras. Adit mempercepat langkahnya, berharap menemukan tempat berteduh sebelum basah kuyup. Tak jauh dari situ, ia melihat sebuah kafe dengan jendela besar yang memancarkan cahaya hangat dari dalam. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam kafe itu.

Baca juga: Di Antara Dua Rasa

Suasana di dalam kafe sangat kontras dengan hujan di luar. Hangat dan nyaman, dengan aroma kopi yang kuat menyambutnya. Adit menghela napas lega, menanggalkan mantelnya yang basah dan mencari tempat duduk. Ketika ia melangkah lebih dalam ke dalam kafe, matanya tertumbuk pada seorang wanita yang duduk di pojok ruangan, tengah tenggelam dalam sebuah buku. Jantung Adit seakan berhenti berdetak ketika ia mengenali wajah itu. Rara.

Waktu seakan membeku saat mereka saling memandang. Rara terlihat sama seperti yang ia ingat—rambut hitam panjang yang tergerai lembut, mata yang selalu tampak penuh dengan cerita, dan senyum yang entah mengapa selalu bisa membuat Adit merasa nyaman. Namun, ada sesuatu yang berbeda; sepasang mata itu kini tampak lebih dalam, seolah menyimpan kisah-kisah yang tak sempat terucapkan.

Adit mendekati meja Rara dengan hati-hati, khawatir bahwa jika ia melangkah terlalu cepat, momen ini akan menghilang seperti embun pagi yang tersapu sinar matahari. Ketika ia tiba di depan Rara, wanita itu menutup bukunya perlahan, lalu mengangkat wajahnya, menyambut kehadiran Adit dengan senyum yang tak terduga.

"Rara," suara Adit pelan, nyaris tak terdengar di antara suara gemericik hujan yang menghantam jendela.

"Adit," jawab Rara dengan suara yang lembut, penuh kehangatan yang ia kenal dengan baik.

Mereka berdiri di sana, saling memandang tanpa kata. Kenangan-kenangan lama menyeruak di antara mereka, seolah-olah mereka tak pernah benar-benar berpisah. Akhirnya, Adit memberanikan diri untuk duduk di kursi di seberang Rara.

"Aku... tak menyangka akan bertemu denganmu di sini," kata Adit, suaranya sedikit bergetar.

"Aku juga tak menyangka," balas Rara dengan senyum kecil. "Sudah lama sekali."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun