Hukum dan politik di Indonesia selalu berjalan beriringan, kadang-kadang bahkan saling bertumpang tindih. Di tengah arus politik yang semakin kompleks, hukum sering kali menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan, bukan lagi sebagai pedoman moral dan etika yang mendasari tata kelola negara. Ini adalah refleksi dari krisis hukum yang terjadi, di mana politik menggeser nilai-nilai hukum untuk kepentingan segelintir elit, dan masyarakat hanya menjadi penonton di panggung besar drama kekuasaan.
Krisis hukum ini terlihat jelas dalam beberapa kasus besar yang terjadi belakangan ini. Contohnya adalah kasus korupsi yang melibatkan beberapa tokoh politik penting. Korupsi, yang seharusnya menjadi musuh utama dalam penegakan hukum, malah menjadi 'virus' yang menular ke dalam sistem hukum itu sendiri. Institusi penegak hukum yang seharusnya berdiri tegak sebagai penjaga keadilan, justru terjerumus dalam pusaran politik dan kepentingan pribadi.
Dalam konteks ini, hukum tidak lagi dianggap sebagai landasan moral yang harus dihormati dan ditegakkan. Sebaliknya, hukum menjadi alat yang bisa dipelintir untuk melindungi kepentingan tertentu. Ketika politikus terjerat kasus hukum, sering kali kita melihat upaya untuk memanipulasi hukum, baik melalui revisi undang-undang, pengaruh terhadap keputusan pengadilan, maupun penundaan proses hukum. Ini semua menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hukum di Indonesia masih menjadi alat untuk mencapai keadilan, atau sudah berubah menjadi alat untuk melindungi kepentingan politik?
Krisis hukum ini juga tercermin dalam penegakan hukum yang tidak konsisten. Di satu sisi, hukum bisa ditegakkan dengan keras terhadap rakyat biasa yang melanggar aturan kecil. Namun, di sisi lain, para elit politik yang jelas-jelas melanggar hukum bisa lolos tanpa hukuman yang sepadan. Kesenjangan ini menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan keadilan. Ketika rakyat melihat bahwa hukum bisa dibeli dan dimanipulasi oleh mereka yang memiliki kekuasaan, maka mereka akan kehilangan kepercayaan pada negara dan sistem demokrasi yang ada.
Situasi ini diperparah oleh lemahnya independensi lembaga-lembaga penegak hukum. Banyak lembaga penegak hukum yang seharusnya independen justru sering kali terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik. Baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, maupun Kejaksaan, semuanya menghadapi tekanan politik yang kuat, yang kadang kala menghambat tugas mereka dalam menegakkan hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai masa depan penegakan hukum di Indonesia: apakah lembaga-lembaga ini masih bisa menjalankan fungsinya dengan benar, atau sudah terkontaminasi oleh kepentingan politik?
Selain itu, krisis hukum ini juga mencerminkan kegagalan dalam membangun budaya hukum yang kuat. Di negara-negara dengan demokrasi yang matang, hukum berdiri di atas politik dan menjadi dasar dari semua keputusan yang diambil. Namun, di Indonesia, hukum sering kali ditempatkan di bawah politik, di mana keputusan hukum bisa berubah tergantung pada siapa yang berkuasa. Ini bukan hanya menunjukkan lemahnya budaya hukum, tetapi juga mencerminkan ketidakmatangan demokrasi di Indonesia.
Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi hukum untuk berkembang dan ditegakkan tanpa intervensi politik. Namun, ketika hukum dikuasai oleh politik, maka yang terjadi adalah pembajakan demokrasi. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memiliki hukum yang kuat dan adil, di mana semua orang, termasuk elit politik, tunduk pada hukum yang sama. Namun, ketika hukum menjadi alat politik, demokrasi hanya menjadi ilusi, sekedar kulit tanpa isi.
Pada akhirnya, krisis hukum di Indonesia adalah cerminan dari masalah yang lebih besar: krisis demokrasi. Ketika hukum tidak lagi dihormati dan digunakan hanya sebagai alat politik, maka demokrasi akan rapuh dan mudah runtuh. Kita perlu membangun kembali kepercayaan terhadap hukum, dengan memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, dan lembaga-lembaga penegak hukum harus dijaga independensinya dari pengaruh politik. Hanya dengan begitu, demokrasi kita bisa kembali kuat dan sehat.
Namun, ini bukanlah tugas yang mudah. Perlu ada kemauan politik yang kuat dan dukungan dari masyarakat untuk menuntut perubahan yang nyata. Kita harus mulai dari membangun budaya hukum yang menghormati keadilan, dan memastikan bahwa hukum benar-benar menjadi landasan moral dalam kehidupan bernegara. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus politik yang korup, di mana hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa, dan rakyat terus menjadi korban.
Masa depan hukum di Indonesia tergantung pada seberapa besar kita sebagai bangsa mau berjuang untuk keadilan. Ini adalah saat yang krusial bagi demokrasi kita, di mana kita harus memilih: apakah kita akan membiarkan hukum terus dipermainkan oleh politik, atau kita akan berdiri tegak untuk menegakkan keadilan bagi semua? Keputusan ada di tangan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H