"Aku... tidak apa-apa, Bu," jawabku sambil mencoba tersenyum. Namun, aku tahu senyum itu tidak bisa menyembunyikan ketakutanku.
Arya duduk di seberangku, menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Ibu sepertinya tidak menyadari ada yang salah. Aku merasa terjebak, tidak tahu harus bagaimana. Malam demi malam berlalu, dan aku selalu mengunci pintu kamarku sebelum tidur. Namun, bayangan Arya selalu menghantui pikiranku.
Suatu malam, aku terbangun oleh suara gaduh dari lantai bawah. Aku mengintip dari celah pintu, melihat Arya berjalan keluar rumah dengan langkah terburu-buru. Rasa penasaran mengalahkan ketakutanku, dan aku diam-diam mengikutinya.
Dia berjalan ke arah gudang tua di belakang rumah, tempat yang jarang kami datangi. Aku bersembunyi di balik semak-semak, mengintip ke dalam melalui jendela kecil yang retak. Di dalam, aku melihat Arya sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel.
"Kamu yakin ini akan berhasil?" suara Arya terdengar tegas, tapi ada ketegangan yang jelas.
Seseorang di ujung sana menjawab, tetapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Arya terus berbicara, memberikan instruksi yang tidak aku mengerti. Perasaanku semakin tidak nyaman. Apa yang sebenarnya sedang direncanakan kakak tiriku ini?
Ketika dia selesai berbicara dan keluar dari gudang, aku segera bersembunyi di balik pohon. Arya berjalan kembali ke rumah dengan langkah tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang berbahaya.
Pagi berikutnya, aku memutuskan untuk memberitahu ibu tentang kecurigaanku. Namun, ketika aku memasuki ruang tamu, aku mendapati ibu dan Arya sedang berbicara dengan serius.
"Dinda, mari sini," kata ibu sambil tersenyum. "Arya punya sesuatu untuk diberitahukan padamu."
Arya menatapku dengan senyuman yang terasa aneh. "Aku akan pergi, Dinda. Ada urusan yang harus kuselesaikan di Jakarta."
Aku terkejut, tetapi juga lega mendengar itu. "Pergi? Untuk berapa lama?" tanyaku mencoba menyembunyikan kelegaan dalam suaraku.