Mohon tunggu...
Bento
Bento Mohon Tunggu... Administrasi - cara cepat untuk bisa menulis ya menulis

penikmat bacaan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ombak Hidup dan Cerita yang Tertunda

16 Mei 2024   23:07 Diperbarui: 16 Mei 2024   23:16 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sudah sekitar dua bulan aku tidak menulis. Setiap kali membuka Kompasiana, rasanya selalu ada cerita yang tidak menyenangkan. Tak ada kesempatan untuk menuangkan isi kepala menjadi sebuah tulisan. Badai dan ombak kehidupan terus menerjang, membuat perahu hidupku terombang-ambing tanpa arah.

Di meja, tergeletak sebuah majalah Tempo dengan poster yang menarik perhatian. "Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis pun akan hilang ditelan zaman," bunyinya.

Kata-kata itu mengingatkanku pada kejadian beberapa minggu yang lalu saat Libur Hari Raya Idul Fitri 1445 H. Aku berencana pulang kampung ke Ambon. Perjalanan pulang kampung ku rencanakan kali ini cukup panjang, melalui darat, laut, dan udara. Dari Banjarmasin ke Batulicin dengan sepeda motor, kemudian menyebrang naik kapal ke Makassar, lalu lanjut naik pesawat ke Ambon.

Namun, takdir berkata lain.

Di tengah perjalanan dari Banjarmasin ke Batulicin, tepatnya di daerah Desa Tajau Pecah, Kabupaten Tanah Laut, aku mengalami kecelakaan. Kendaraan roda dua yang kugunakan tidak dapat melanjutkan perjalanan. Dalam kepanikan dan kesakitan, aku memutuskan untuk menghubungi teman terdekat yang tinggal di sekitar Pelaihari, ibu kota Kabupaten Tanah Laut.

"Adik, kakak kecelakaan. Kakak bisa minta tolong menitipkan kendaraan? Soalnya kendaraan kakak rusak berat," kataku.

Ia bersedia membantu dan meminta lokasi. Sekitar sejam kemudian, bantuan tiba. Sebuah mobil pick-up datang, dan kami pun menaikkan motorku yang rusak ke bak mobil, lalu membawanya ke rumah temanku.

Melihat kondisi kakiku yang cedera, berjalan pincang, dan luka lecet di paha sebelah kanan, aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah sakit terdekat. Setelah mendapat perawatan, aku mencari hotel terdekat untuk beristirahat sambil memantau kondisi kesehatanku. Rasa sakit semakin muncul, membuatku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.

Esok harinya, setelah berpikir panjang, aku memilih untuk kembali ke kota asal. Aku menghubungi temanku lagi.

"Adik, terima kasih ya. Kakak kembali ke Banjarmasin. Motornya nanti kalau kakak sudah sembuh, kakak ambil ya," kataku dengan nada penuh penyesalan.

"Siap, Kak," jawabnya tanpa ragu.

Rasa sedih menggelayuti hatiku. Tidak bisa mudik dan berkumpul dengan keluarga di kampung halaman adalah kekecewaan besar. Namun, aku bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk pulih.

Kini, di tengah kesibukan dan badai kehidupan, aku menyadari bahwa menulis adalah caraku untuk meredakan ombak yang menghantam perahu hidupku. Tulisan ini mungkin tak sempurna, tetapi setidaknya, cerita perjalananku tidak akan hilang ditelan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun