Javier Alejandro Mascherano adalah pemain paling muda di skuat Argentina ketika mengikuti Copa America 2004. Debut yang manis bagi Mascherano. Argentina melaju ke final. Sayang, Albiceleste gagal menjuarai turnamen, dikandaskan Brasil melalui adu penalti.
Pemuda 20 tahun itu merasakan kesedihan mendalam. Dia memberikan segalanya di final pertamanya di Copa America. Kekecewaannya agak terobati. Mascherano menerima penghormatan besar dari rekan-rekan setimnya. Roberto Ayala dan kawan-kawan memilih Mascherano sebagai pemain terbaik Argentina di laga final itu.
Motivasinya kembali terangkat untuk selalu memberikan yang terbaik untuk negaranya. Sejak saat itu dan untuk lebih dari satu dekade, dia selalu menjadi pemain sentral skuat senior Tango di Piala Dunia 2006, Copa America 2007, Piala Dunia 2010, Copa America 2011, Piala Dunia 2014, dan Copa America 2015.
Sepuluh tahun sejak kegagalan itu, Mascherano kembali merasakan laga final, kali di turnamen sejagat, Piala Dunia 2014. Sekali kali, ia harus membendung air mata dalam rangkulan pelatih Alejandro Sabella. Mimpi dapat kalungan medali emas dibuyarkan Jerman melalui gol tunggal Mario Goetze.
“Rasa sakit yang sangat hebat,” begitu media-media mengutip komentar Mascherano setelah kegagalan yang dramatis itu. Seperti 10 tahun lalu, rasa sakit melecut dirinya agar tak putus asa. Mascherano kembali ke skuat Albiceleste untuk Copa America 2015.
Seperti biasanya, Mascherano selalu tampil untuk Argentina termasuk membantu mencukur Paraguay di laga semifinal dengan skor telak 6-1. Untuk ketiga kali, Mascherano membawa Argentina ke partai final, kali ini menantang skuat tuan rumah, Cile.
Akankah turnamen di Cile ini menjadi happy ending untuk satu di antara pemilik caps terbanyak di Copa America itu? Saya kira, itu yang diimpinkan Mascherano. Final Copa America 2015 menjadi momen terbaik untuk mengobati luka di dua final sebelumnya.
Motivasi Mascherano pasti berlipat ganda. Copa America 2015 mungkin menjadi peluang terakhirnya untuk berlaga di turnamen akbar bersama timnas. Saya kira, rekan-rekannya di timnas Argentina ingin memberi penghormatan besar kepada satu di antara pemain terbaik Argentina itu dengan titel juara.
Pelatih Albiceleste, Gerardo Martino, menunjukkan sinyal penghormatan itu pada laga semifinal ketika menggantikan Mascherano dengan Fernando Gago 15 menit sebelum laga tuntas. Saya melihat rencana besar Martino untuk Mascherano sebagai persiapan partai final menantang Cile.
Martino ingin menghemat tenaga sekaligus menghindari El Jefe dari kartu kuning kedua selama turnamen ini agar tak kena sanksi akumulasi kartu. Untuk saya, rencana Martino bukan hanya itu.
Kemungkinan besar, Mascherano dikembalikan ke posisi gelandang bertahan saat final kontra skuat tuan rumah. Itu untuk meredam aksi pemain kunci Cile, Arturo Vidal. Pertarungan dua pemain bertenaga kuda ini bisa jadi menjadi kunci keberhasilan kedua tim menjuarai Copa America 2015.
Mascherano berpeluang kembali menjadi pemain terbaik Argentina di final Copa America, seperti 11 tahun lalu tapi disempurnakan dengan gelar juara. Ini bisa perayaan besar bagi pemain yang menorehkan treble bersama Barcelona selama musim lalu.
Di Tim Tango, Mascherano Layak Disejajarkan dengan Messi
Ketika Argentina berlaga, semua fokus hampir tertuju pada Lionel Messi. "Messi adalah Argentina, dan Argentina adalah Messi." Ini membuat pemain-pemain lain Albiceleste ada di bawah bayang-bayang La Pulga. Bagi saya, di skuat Tango saat ini, Mascherano pantas disejajarkan dengan Messi.
Ia memiliki caps terbanyak (116) bahkan dibanding dengan Messi (102). Prestasinya bersama timnas lebih mengkilap daripada Messi. Mascherano tercatat sebagai pesepakbola Argentina pertama, sejauh ini satu-satunya, yang meraih dua medali emas olimpiade (2004 dan 2008).
Bersama Messi, Mascherano menjadi sentral tarian Tango. Messi mempunyai skill yang menjanjikan banyak gol. Mascherano adalah petarung sejati, perusak irama permainan lawan, dan menjanjikan sangat sedikit kebobolan. Berposisi asli sebagai gelandang bertahan, Sang Ketua juga apik sebagai bek tengah.
Ia adalah tipe pemain pekerja keras dan lugas, tak ragu mengambil keputusan. Tipe ini sangat disukai legenda sepakbola Argentina, Diego Maradona. Messi dan Mascherano adalah "anak kesayangan" Maradona. Bedanya, di mata sang legenda, Mascherano nyaris tanpa cela. Maradona tak pernah mengkritik El Jefe.
Tak heran saat Maradona membesut Argentina, Mascherano menjadi kapten kesayangannya dan menempatkan Messi sebagai deputi. Bisa jadi, tanpa sengaja, Mascherano-lah yang 'mengusir' anak emas Argentina, Roman Riquelme, dari skuat Piala Dunia 2010.
Maradona menyebut Riquelme sebagai 'pemain malas' yang membuat Riquelme ogah kembali ke skuat Tango. Sang Legenda mungkin menjadikan Mascherano sebagai pembanding Riquelme meskipun keduanya menjalankan tugas yang berbeda, Mascherano menggalang pertahanan sedangkan Riquelme mengatur serangan.
Mungkin, keputusan ini menjadi penyesalan Maradona seumur hidup lantaran kegagalan Argentina di Piala Dunia 2010. Maradona memisahkan duet yang tampil menawan di Piala Dunia 2006 dan juara Olimpiade 2008.
Etos kerja Mascherano memang tak perlu diragukan. Kala semifinal Piala Dunia 2014, dia berkontribusi besar mengantarkan Argentina ke final dan menguburkan mimpi Belanda melawan Jerman di partai puncak. Aksi heroik El Jefe tentu saja saat menggagalkan peluang Arjen Robben meskipun berujung sobek dubur.
Kepemimpinannya di atas lapangan tak terbantahkan. Ia rela melepaskan ban kapten melingkar di lengan Messi demi menyempurnakan peran Messi di skuat Tango. Mascherano memprioritaskan tim. Toh, tanpa ban kapten, El Jefe tetap menjadi pemain yang paling banyak berbicara dengan rekan setim dan wasit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H