Bola panas kasus RS Sumber Waras saat ni sudah berada di tangan KPK. Hasil Audit Investigasi kasus RS Sumber Waras sudah lama diterima KPK. Tapi kenapa setelah sekian bulan KPK masih belum juga dapat meningkatkan Penyelidikan kasus RS Sumber Waras ketingkat Penyidikan???
Mari kita telisik dari awal munculnya kasus ini di LHP BPK DKI 2014
Kasus RS Sumber Waras bermula dari LHP BPK DKI 2014
Saat kasus ini muncul kepermukaan, Ahok sudah berkali kali mengeluarkan pernyataan "Oknum auditor BPK DKI Tendensius". Pernyataan Ahok ini tidak pernah di gubris oleh BPK DKI, dan DPRD DKI malah DPRD DKI dan LSM beramai-ramai mengadukan Ahok ke KPK dengan memamfaatkan temuan kasus RS Sumber Waras dalam LHP BPK DKI 2014 menjadi senjata untuk menjatuhkan Ahok. Menjelang Pilkada DKI 2017, temuan ks RS Sumber Waras inipun semaking di "goreng" untuk menggagalkan langkah Ahok maju sebagai Bacagub DKI 2017 yang diusung Teman Ahok melalui jalur Independen.
Coba kita ulas kembali alasan alasan Ahok menyebutkan Oknum BPK DKI Tendensius..,
Pertama, dalam membuat LHP BPK DKI 2014, menurut pengakuan Ahok, auditor BPK DKI tidak pernah meminta tanggapan dari Gub. DKI yang saat itu di jabat oleh Ahok. Padahal UU 15 2004 Pasal 16 Ayat 4 mengatakan "Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan". Bila pernyataan Ahok diatas itu benar, maka LHP BPK DKI 2014 sudah barang tentu tidak memuat tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan kasus RS Sumber Waras. Lebih parahnya lagi, DPRD DKIpun tidak mempermasalahkan hal ini. Dari poin pertama ini jelas LHP BPK DKI 2014 telah menyalahi UU 15 2004 Pasal 16 Ayat 4.
Kedua, UU 15 2004 Pasal 17 Ayat 3 mengatakan "Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/ bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya". Sesuai dengan pernyataan Ahok bahwa LHP BPK DKI 2014 disampaikan BPK DKI ke Sekda DKI bukan ke Gubernur DKI seperti yang diperintahkan UU 15 2004 Pasal 17 Ayat 3. Pernyataan Ahok inipun diperkuat oleh keterangan Ka. Biro Humas dan Kerjasama Internasional BPK, Yudi Ramdan, dikantornya pada tanggal 8 Juli 2015 ”Saya pegang berita acara, laporan disampaikan ke Sekretaris Daerah, Pak Saefullah”(sumber:https://metro.tempo.co/read/news/2015/07/08/083682120/ahok-belum-terima-lhp-bpk-sudah-diserahkan-ke-sekda). Dari poin kedua ini jelas BPK DKI telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam UU 15 2004 Pasal 17 Ayat 3.
Ketiga, BPK DKI mengatakan pengadaan lahan RS Sumber Waras tidak memenuhi aturan aturan yang tercantum dalam UU 02 2012 dan Perpres 71 2012, kemudian Ahok membantah dengan mengatakan bahwa pengadaan lahan RS Sumber Waras telah mengikuti aturan sesuai dengan Perpres 71 2012 jo Perpres 40 2014. BPK DKI tidak mau ambil pusing pernyataan Ahok tersebut dan tetap bersikukuh menggunakan UU 02 2012 dan Perpres 71 2012.
UU 02 2012 pasal 59 mengatakan: "Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diatur dengan Peraturan Presiden". Pelaksanaan dari UU 02 2012 pasal 59, Presiden menerbitkan Perpres 71 2012 yang telah diubah oleh Perpres 40 2014. Lalu Perpres 71 2012 pasal 111 ayat 6 mengatakan "Petunjuk teknis tahapan pelaksanaan Pengadaan Tanah diatur oleh Kepala BPN." Perintah Perpres 71 2012 pasal 111 ayat 6 inipun direspon oleh Ka. BPN RI dengan menerbitkan Peraturan Kepala BPN No.5 2012. Berdasarkan Perpres 71 2012 sebagaimana telah diubah Perpres 40 2014 ayat 121 maka pengadaan lahan RS Sumber Waras masuk ke dalam kriteria Pengadaan Lahan Skala Kecil, karena lahan tersebut luasnya tidak lebih dari 5 (lima) Ha. Petunjuk teknis tahapan pelaksanaan Pengadaan Tanah yang tertuang dalam Peraturan Ka. BPN No.5 2012 pasal 53 ayat 3 mengatakan "Pengadaan tanah yang dilakukan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan tanpa melalui tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan peraturan pelaksanaannya".
Jelas sudah alasan BPK ngotot menggunakan Perpres 71 2012 dengan mengabaikan Perpres 40 2014 adalah agar Pengadaan Lahan RS Sumber
Waras tidak masuk kedalam Pengadaan Lahan Skala Kecil sehingga pada pelaksanaannya harus mengikuti tahapan yang disebutkan dalam Perpres 71 2012 ayat 2. Poin ketiga ini kembali dipertegas oleh tim Audit Investigasi BPK dengan mengatakan ada 6 (enam) temuan pelanggaran dalam tahapan pengadaan lahan sesuai dengan Perpres 71 2012. Dari poin ketiga ini BPK DKI dan tim audit investigasi BPK mengabaikan Perpres 40 2014.
Keempat, Pemprov DKI, berdasarkan data dari Dinas Pelayanan Pajak DKI, mengatakan bahwa Lahan RS Sumber Waras yang dibeli masuk kedalam Zonasi NJOP PBB Kyai Tapa. BPK DKI mengatakan bahwa Lahan tersebut berada pada Zonasi NJOP PBB Tomang Utara. Disini jelas BPK DKI hanya bersasumsi, karena pendapat BPK DKI tersebut tidak didukung oleh data dari Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI. Profesionalisme auditor BPK DKI dalam hal ini patut dipertanyakan..., sudah sepatutnya untuk mengetahui Zonasi NJOP PBB lahan tersebut BPK DKI bertanya ke DPP DKI karena hal itu sudah menjadi tugas dan wewenang DPP DKI. Dari poin keempat ini, BPK DKI terlihat telah melebihi tugas dan wewenangnya sebagai seorang auditor.
Mengutip dari tulisan Andi Ansyori,
Pasal 2 (1) Undang Undang 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi , yang berunyi sebagai berikut :
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
Dari pasal 2 ayat (1) tersebut maka diketahui unsur unsur sebagai berikut :
1. Setiap orang
2. Secara melawan hukum
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
4. Dapat merugikan keuangan negera atau perekonomian negara
dan mengutip dari tulisan A.L.A.Indonesia yang mempertegas UU 31 1999 jo UU 20 2001 pasal 2 ayat 1 unsur pada poin keempat,
"Indriyanto selaku mantan pimpinan KPK yang juga pakar hukum pidana menjelaskan secara terang benderang bahwa untuk meyakini keputusan seorang penyelenggara negara yang dapat dikatakan sebagai korupsi harus terdapat perhitungan kerugian keuangan negara yang valid. Dan satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan oleh UU untuk dapat melakukan perhitungan kerugian keuangan negara yang valid adalah BPK".
Unsur ke empat tegas mengatakan harus ada kerugian negara dan Indriyanto, mantan pimpinan KPK, mengatakan bahwa lembaga yang valid untuk menghitung kerugian negara adalah BPK.
Bila kita "memahakuasakan" hasil audit BPK maka tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa Ahok beserta jajarannya telah menyebabkan kerugian negara dalam pengadaan lahan RS Sumber Waras, tapi bila kita memandang auditor BPK DKI 2014 adalah oknum BPK DKI yang memiliki konflik kepentingan, maka kita akan bisa lihat bahwa memang temuan kasus RS Sumber Waras ini terlalu dipaksakan, bahkan oknum BPK DKI tersebut juga memaksakan kerugian negara yang terjadi dalam pengadaan lahan RS Sumber Waras berdasarkan asumsi, bukan berdasarkan data. Penulis akan mencoba menjelaskan sbb:
Ditinjau dari unsur ke empat UU 31 1999 jo UU 20 2001 pasal 2 ayat 1, tentang kerugian negara, BPK DKI mengatakan:
Estimasi kerugian Pertama sebesar Rp. 191 M, hal ini didasarkan dari selisih harga pembelian Pemprov DKI Rp. 755 M dengan harga tawar PT. CKU dengan Pihak RS Sumber Waras di tahun 2013 Rp 564 M. Pada bulan Nov 2014, Pemprov DKI telah menunjuk KJPP Independen untuk melakukan Appraisal dan hasilnya adalah Rp. 904 M. Disini auditor BPK DKI berasumsi bahwa harga tanah pada tahun 2013 sama dengan harga tanah tahun 2014, padahal hasil appraisal KJPP menunjukkan data yang berbeda dengan asumsi auditor BPK DKI.
Estimasi kerugian Kedua sebesar Rp. 484 M, hal ini didasarkan dari selisih harga pembelian Pemprov DKI Rp. 755 M yang berdasarkan NJOP Kyaitapa Rp. 20.755 jt/m2 dengan NJOP Tomang Utara Rp. 7.445 jt/m2 yang total harganya Rp. 271 M. Disini sangat jelas oknum BPK DKI menjadikan asumsi lahan RS Sumber Waras yang dibeli Pemprov DKI masuk kedalam Zonasi Tomang Utara sebagai patokan penentu harga, padahal data dari instansi yang bertugas dan berwenang menentukan Zonasi dan NJOP, DPP DKI, mengatakan bahwa lahan RS Sumber Waras yang dibeli Pemprov DKI berada pada Zonasi KyaiTapa. Auditor BPK DKI mengabaikan data dari DPP DKI yang dilampirkan oleh Pemprov DKI dalam dokumen pembelian lahan RS Sumber Waras. Auditor BPK DKI juga telah mengambil alih tugas dan wewenang DPP DKI sebagai penentu Zonasi dan NJOP padahal yang kita ketahui auditor itu tugasnya adalah mengaudit bukan menentukan Zonasi dan NJOP.
Dari Estimasi Kerugian Pertama dan Kedua, penulis berkesimpulan bahwa kerugian negara yang dikatakan dalam LHP BPK DKI 2014 pada temuan pengadaan lahan RS Sumber Waras "tidak valid" karena hanya berdasarkan pada asumsi auditor bukan berdasarkan pada data.
Menurut Penulis.., hal hal diataslah yang menyebabkan KPK belum bisa menemukan dua buah alat bukti untuk menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan.
Dari sisi prosedur..., terdapat perbedaan aturan yang menjadi dasar pelaksanaan pengadaan lahan, BPK DKI masih menggunakan Perpres 71 2012 sementara Pemprov DKI memakai Perpres 71 2012 jo Perpres 40 2014 sebagai dasar pengadaan lahan.
Dari sisi kerugian negara..., BPK menggunakan asumsi auditor sementara Pemprov DKI menggunakan data KJPP dan DPP DKI.
Praperadilan kasus ini juga telah diajukan LSM MAKI dengan membawa 32 bukti agar kasus ini dapat di naikkanke tahap penyidikan dan hasilnya permohonan MAKI di tolak oleh PN Jakarta Selatan. Semakin jelas terlihat bahwa bukti-bukti yang ada dalam temuan BPK DKI itu tidak kuat untuk dijadikan bukti di pengadilan. Seandainya MAKI dapat menunjukkan dua alat bukti saja, yang berdasarkan data bukan berdasarkan asumsi, maka penulis yakin hakim PN Jakarta Selatan akan mengabulkan permohonan Praperadilan MAKI.
Saat ini buah simalakama ada ditangan KPK sebagai akibat blundernya auditor BPK....
Bila tidak menaikkan kasus ini ke pengadilan maka kredibilitas BPK akan dipertanyakan, tapi bila kasus ini dipaksakan naik ke pengadilan maka dengan mudah dapat dipatahkan sehingga akan mempertaruhkan kredibilitas KPK.
Semoga bisa menjadi pencerahan pandangan dalam kasus RS Sumber Waras..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H