Tanpa ku sadari semua Doaku terkabul
Manusia kadang sombong dan keras hati. Seakan-akan segala hal bisa dilakukan tanpa pertolongan dari Tuhan. Aku jadi teringat masa-masa silam setelah lulus kuliah. Waktu itu begitu banyak teman kuliah yang bekerja di Jakarta. Ingin rasanya ikut dan meraih impian di Jakarta. Namun apa di kata, jalan hidup menetukan lain. Bahwa pada kenyataannya saya bekerja di Jogja. Doa-doaku tak dikabulkanNya. Ya sedikit juga aku mengumpat terhadapNya. Akhirnya, Jogjalah kota dimana saya bekerja setelah lulus. Selama beberapa tahun aku berkarya di perusahaan retail. Sampai di kemudian hari, ada tawaran mengajar di Papua. Berangkatlah saya ke sana dengan berbagai harapan.
Saat itu aku termenung dalam malam pekat di pedalaman Papua. Dulu aku berdoa supaya dapat bekerja di Jakarta, namun mengapa saya akhirnya terdampar di ujung timur negara ini? Berbagai pikiran berkecamuk dalam batin ini, seraya selalu mempertanyakan keputusanNya. Mungkin ini sudah jalanku, kataku dalam hati. Hemm di Papua memang begitu banyak hal berharga yg saya pelajari. Pengalaman hidup bersama mereka tak lekas membuatku lupa begitu saja. Masa-masa itu menjadi masa indah yang belum pernah aku rasakan. Dua tahun lebih aku hidup jauh dari orang-orang yang aku sayangi. Namun waktu pun terasa cepat, bahkan sangat singkat aku jalani.
Setelah kepulanganku dari tanah Papua aku kembali menata kehidupan dengan mendapatkan pekerjaan kembali mengajar. Ya mengajar. Aku suka mengajar, mendidik orang lain dalam kapasitasnya sebagai pelajar atau mahasiswa. Tak kunjung pekerjaan impianku aku peroleh. Tiba-tiba tak disangka, datang tawaran bekerja di Jakarta. Tapi bukan mengajar di sekolah, melainkan mengajar di sebuah perusahaan. Pekerjaan inipun aku terima, dan berangkatlah aku ke Jakarta. Selama bekerja di Jakarta tak ubahnya sebuah potret perjalanan hidup yang aku sudah lalui. Tidak ada perbedaan yang pasti saat aku bekerja di Papua maupun di Jakarta. Sama saja pikirku. Bedanya hanya kesunyian dan keramaian. Bahkan perbedaan ini seperti langit dan bumi.
Aku bukan orang yang sulit beradaptasi. Baradaptasi itu mudah. Walaupun harus dengan berjuang. Barangkali pengalaman di Papua membuatku lebih kuat hidup di Jakarta. Jakarta membuatku bisa meminang seorang cewek yang sekarang jadi istriku. Rejeki yang aku kumpulkan di kemudian hari menjadi sarana ampuh untuk menikah. Setelah kami menikah, tentu saja ada harapan untuk dapat pergi ke suatu tempat berdua. Bulan madu begitu kata orang. Tetapi semua harapan tersebut tak kunjung bisa kami peroleh. Tentu ada alasannya. Kebutuhan kami untuk bayar ini itu, dan makan tak cukup untuk menyisihkan begitu banyak uang. Waktu itu aku hanya berserah dan berdoa, supaya kela di kemudian hari kami dapat pergi ke Bali. Sampai kemudian anak kami lahir, kami masih belum jadi berangkat ke Bali. Kebutuhan selalu ada yang mendesak. Sampai suatu ketika, seorang teman memberikan undangan menikah di Bali. Teman ku bilang,
“bulan oktober kemana?”
“Aku bilang belum tahu, mungkin ke Bali” kataku kembali dengan tidak begitu yakin.
“Wah pas nih, sekalian saja datang di acara pernikahanku, “ katanya
“Ada tiket murah tuh di bulan oktober” lanjutnya.
Antara percaya dan tidak aku coba cek pernerbangan di bulan itu. Memang betul ada penerbangan murah, dan sungguh murah banget. Sempat aku diskusikan hal ini kepada istri, dia pun setuju. Akhirnya kami membeli tiket tersebut sekalian mengajak anak kami yg berumur 2 tahun. Pada akhirnya tiket sudah di tangan, apalagi yang belum. Oh ya kami harus membawa uang saku ke Bali. Persoalan ini pun muncul, bagaimana caranya mendapatkan uang saku, padahal kebutuhan untuk ini itu masih belum cukup. Termasuk juga rumah yang kami harus angsur. Benar-benar nekat mungkin kami waktu itu. Tapi ya sudahlah, sambil harap-harap cemas kami dapat memeroleh uang saku. Pada akhirnya pertolongan itu datang, orang tuaku pengin ikut ke Bali. Wah lumayan nih, bisa ngirit pikirku.
Beberapa hari kemudian rejeki uang itu datang juga. Jadi komplitlah sudah uang saku yang ada. Wah bersyukur padaNya, karena kenekatan kami terbayar. Singkatnya kami pergi berlibur ke Bali sembari menghadiri pernikahan teman kami.
Beberapa bulan telah lewat. Aku sedikit terhenyak dengan pikiran-pikiranku masa lalu. Apa itu? Waktu di Jogja pernah ku memohon pada Tuhan agar bisa bekerja di Jakarta. Saat di Papua pun aku pernah berharap dan berdoa supaya mendapatkan pekerjaan dengan mengajar. Saat di rumah kontrakan, kami juga memohon supaya lekas menempati rumah baru kami. Juga saat menginginkan pergi ke Bali. Semua itu menjadi pengharapanku supaya dapat di kabulkan. Selama beberapa bulan ini, aku bahkan tanpa sadar sudah melewati semua harapan dalam permintaanku kepadaNya. Bekerja di Jakarta sudah aku peroleh. Menempati rumah baru pun begitu. Menjadi guru dan mengajar juga sudah, walaupun tidak di sekolah. Bahkan pergi ke Bali, yang kami impikan berdua saat itu juga sudah kami lewati. Bahkan tidak hanya berdua, anak kami pun ikut. Rasa-rasanya aku telah melupakan kebaikanNya. Aku terbuai dan terlena juga melupakanNya. Bahwa selama ini doa-doa yang aku panjatkan sudah terkabul. Kurang apalagi DIA.
Rasa syukurku saat ini mungkin sudah tertutupi oleh kekerasan hati. Mungkin juga aku melupakan pelajaran yang satu ini. Yaitu melatih bersyukur. Ternyata semua sudah aku peroleh dengan segenap perjuangan. Bukankah DIA begitu baik padaku selama ini? Mengapa aku kadang melupakanNya? Mengapa aku seakan-akan meremehkanNya? Meremehkan peran Nya dalam kehidupan kami? Tidak perlu bersusah payah untuk dapat merasakan kehadiranNya di tengah –tengah kita, cukup bersyukur. Karena rasa syukur adalah tanda yang mampu dirasakan betapa Dia mengasihi kita manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H