Lalu yang menjadi masalah adalah, memang benar masyarakat diberikan hak pilih dalam pemilu. Tetapi, masyarakat hanya dapat memilih calon-calon yang ada (sudah tersedia) di bursa. Mengenai kebijakan politik kedepannya, bukan hak masyarakat lagi. Apakah itu yang disebut dengan demokrasi?
Kata kuncinya terdapat pada golongan atau kelas masyarakat. Mereka yang mengisi dan menjabati kursi politik tidak merasakan apa yang dirasakan konstituennya. Lantas, bagaimana cara mereka mengerti masalah apa yang ada di tengah-tengah masyarakat?
Apakah bisa sebuah mufakat dalam terang hikmat kebijaksanaan dihasilkan oleh musyawarah dalam sebuah perhelatan politik yang penuh kepentingan? Apakah benar semua aktor politik membawa rasionalitasnya dalam praktik politik sehingga mereka mau bermusyawarah untuk mencapai mufakat? Bukankah setiap aktor politik membawa kepentingannya sendiri dan dibebani oleh kepentingan kelompok yang menyokongnya sehingga sulit melakukan musyawarah dalam terang hikmat kebijaksanaan? Apakah demokrasi permusyawaratan bisa diwujudkan dalam sebuah praktik politik yang penuh kepentingan? Apakah para aktor politik mau bermusyawarah demi kesejahteraan rakyat? Apakah partai politik yang ada hari ini menjadi representasi masyarakat mayoritas?
Kesimpulannya, demokrasi harus berpihak pada rakyat mayoritas bukan segelintir elit di dalam partai politik. Lalu, kelemahan demokrasi terletak pada definisi kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat dianggap telah ada ketika mayoritas rakyat terlibat dalam pemilihan umum. Hal ini memang terkait dengan hak universal atas hak suara (memilih), yaitu 'one man one vote' yang menjadi keberhasilan dari corak demokrasi liberal.
REFERENSI
Arif, Syaiful. 2016 . Falsafah Kebudayaan Pancasila, Nilai dan Kontradiksi Sosialnya . Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Ulama.
kbbi.web.id
id.m.wikipedia.com
Stella Kennita
XIG/18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H