Mohon tunggu...
Stella Kennita
Stella Kennita Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Titik Lemah Demokrasi di Indonesia

28 Oktober 2017   00:28 Diperbarui: 28 Oktober 2017   13:54 1125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Apa sebenarnya esensi dari demokrasi? Menurut saya, demokrasi adalah sebuah konsep yang aplikasinya adalah voting (pemungutan suara), yaitu pemilu.

Istilah kedaulatan rakyat (demos) yang oleh demokrasi dirujukkan pada kuantitas dukungan rakyat, bukan kualitas kebijakan yang pro-rakyat. Hal ini terlihat dari rakyat yang dilihat sebagai kuantitas (jumlah yang mempresentasikan mayoritas). Istilah kedaulatan diartikan sebagai pengumpulan kuantitas rakyat sehingga dalam kuantitas tersebut, dipastikan terdapat keutamaan. Hal inilah yang menjadi kelemahan dari demokrasi, sebab keutamaan telah ditambatkan dalam kuantitas, bukan kualitas. "yang banyak" secara otomatis menjadi "yang baik dan benar". Prinsip kuantitas ini kemudian menjadi prinsip majoritarianisme (majority rule) di dalam demokrasi sehingga segenap kebaikan, kebenaran, keadilan, dan keutamaan, ditambatkan pada suara mayoritas.

Hal ini kemudian melahirkan dampak negatif yang merupakan patologi demokrasi itu sendiri. Kelemahan (dampak negatif) tersebut terdapat pada mekanisme pemungutan suara (voting). Dalam demokrasi, perumusan kebijakan ditentukan bukan oleh musyawarah diskursif berdasarkan hikmat kebijaksanaan, melainkan melalui voting. 

Hal ini tentu bermasalah, tidak hanya karena telah melanggar prinsip demokrasi yaitu permusyawaratan, tetapi justru telah menjatuhkan praktik demokrasi ke dalam pertarungan antar-kelompok politik karena mekanisme voting telah mengganti perdebatan diskursif berdasarkan akal-budi, sedangkan voting pada hakikatnya adalah adu  kuat berdasarkan jumlah. Dengan demikian, voting identik dengan pertarungan kekuatan politik, yang jauh dari sifat musyawarah.

Dalam 'pertarungan' tersebut, penentu kebijakan bukan rasionalitas yang diperjuangkan melalui debat argumentatif berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, melainkan banyaknya suara yang setuju atau tidak dengan satu kebijakan.

Prinsip pengambilan suara (voting) telah membuahkan kebijakan politik yang malah bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi memiliki kelemahan sehingga sebagai bangunan sistem politik, ia memuat patologi yang membuat sistem demokrasi tidak mampu mewujudkan cita-citanya sendiri.

Terlebih lagi, pencoblosan pemilu dan dukungan kebijakan tidak serta merta mempresentasikan amanat penderitaan rakyat. Rakyat yang mencoblos-langsung bisa saja terjebak dalam pesona politik citra calon pemimpin yang pandai beretorika. Dalam hal seperti ini, pilihan rakyat dalam pemilu sering dimotivasi oleh irasionalitas politik, sebab rakyat tidak memiliki argumentasi rasional dalam melakukan pilihan, sehingga pemimpin dipilih bukan berdasarkan kemampuan yang sebenarnya, namun dipilih berdasarkan kemampuannya meraih simpati publik.

                Lebih parah lagi, praktik kampanye kita telah terjebak dalam imagologi. Dalam penggunaan politik citra ini, yang dihadirkan pada konstituen hanyalah kesan, sebuah penampakan dari luar hasil polesan teknologi citra untuk menciptakan kesan yang baik, santun, gagah, bervisi, dan pro-rakyat sehingga konstituen tertarik untuk memilih kandidat tersebut. Sayangnya, konstituen sering dibohongi oleh segala argumentasi yang dilegitimasi hukum.

Dengan demikian praktik pemilu telah mengubah semangat demokrasi menjadi ajang politisasi melalui politik citra. Pada akhirnya politik hanya menjadi hak para konglomerat, penguasa partai, dan orang-orang besar yang bisa menggelontorkan miliaran rupiah untuk membuat iklan politik, dan bahkan "serangan fajar", sekian rupiah per kepala, sebagai upah yang diterimakan di depan atas pencoblosan di bilik suara.

Praktik pemilu kita telah menjadi ajang politik uang. Hal ini bisa dilihat dengan adanya fakta bahwa pimpinan partai politik biasanya lahir dari golongan yang mapan secara ekonomi, begitu pula dengan mayoritas anggota partai politik, sedangkan masyarakat yang mereka 'wakili' mayoritas berasal dari golongan yang ekonominya rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun