Jo. Wanita seperempat abad itu sedang duduk di terasan depan kos. Sikap tenangnya tak bisa menutupi kesedihan yang terpancar dari raut muka dan sinar mata sedihnya. Dia sedang terduduk diam sambil mencoret-coret di kertasnya.
Sudah seminggu ini Mbak Jo menjadi topik perbincangan di kos. Para tetangga klesik-klesik tentang Mbak Jo yang sudah tidak beraktivitas di pagi hari seperti biasanya.Â
Aku mendekatinya. Duduk di kursi sebelah meja sambil membawa minuman untuknya.
"Mbak Jo," sapaku.
"Hei," jawab Mbak Jo singkat.
"Ini mbak, minum," ucapku memberikan minuman teh berbotol plastik daur ulang.
"Eh, makasih," ucapnya.
Ya, meski tidak terlalu dekat, tapi aku dan Mbak Jo memang tergolong akrab.
Sesekali kami berbincang, nonton TV bersama atau makan bareng di luar saat tanggal muda.
Namun aku tak berani bertanya, apakah Mbak Jo sudah tidak bekerja atau lagi work from home. Takut menyinggung perasaannya.Â
Meskipun aku pernah mendengar, ada satu anak kos yang terang-terangan menanyakan statusnya. Apakah bekerja atau sedang menjadi penganggur. Anak itu mengatakan, kalau libur jangan lama-lama.