Terhitung 5 hari semenjak Presiden Jokowi melakukan konferensi pers tentang 2 warga negara Indonesia yang terjangkit virus Corona, masyarakat semakin panik bukan main.Â
Ada yang berbondong-bondong memborong masker, sembako dan hand sanitizer. Ada yang paranoid dengan orang yang batuk dan pilek. Bahkan ada yang paranoid membuka pintu dengan telapak tangan. Serius, ini sungguh terjadi dan bukan lelucon.
Tetapi, mirisnya, di balik kepanikan yang heboh ini, ada beberapa pihak yang diam-diam mencuri kesempatan. Jual masker dengan harga tinggi, dengan banderolan harga berlipat ganda dari harga normalnya.Â
Menimbun masker, untuk dijual ke luar negeri. Pihak-pihak oportunis yang berdalih kasihan ingin membantu warga negara lain yang lagi kesusahan diterjang wabah. Padahal di negeri sendiri lagi butuh banyak masker.Â
Kepanikan yang mengalahkan kemanusiaan. Kepanikan yang menang memunculkan keegoisan. Kepanikan yang memunculkan keserakahan dan akhirnya menciptakan lahan untuk si oportunis, yang tidak miris mengeruk materi di atas kesakitan sesamanya. Kepanikan yang menjadikan kesakitan pada mereka yang sedang membutuhkan pertolongan dan memerlukan maskernya.Â
Warga yang dievakuasi saat erupsi Gunung Merapi tidak bisa mendapatkan masker karena stok habis oleh mereka yang sibuk menyerbu dan menimbun masker untuk diri sendiri. Warga kurang mampu yang sakit dan membutuhkan masker akhirnya tidak bisa membeli dikarenakan harga masker yang melonjak tinggi. Karena harga satu lembar masker, melebihi harga sebungkus nasi. Harga 10 lembar masker, lebih mahal daripada obat batuk pilek.Â
Saya pun mengalami hal ini beberapa waktu lalu saat terkena flu. Waktu itu, saya datang ke apotek yang terkenal komplit untuk membeli masker dan obat batuk pilek. Saat itu, stok masker sudah habis. Jadilah saya membeli obatnya saja.Â
Lalu, saya iseng bertanya, "memang berapa Mbak harga maskernya?".
Mbak Pramuniaga menjawab, "tiga ratus lima puluh satu box, Mbak"
Saya bertanya lagi, "Ribu?" Melanjutkan kata-katanya agar lebih jelas.
Mbak  Pramuniaga mengamininya dengan anggukan. "Iya, Mbak".