Zahrah Puteri Alifiyyah
Citra Alfianisa Zuhroh
Alya Zahrah Anandra Putri
Muhammad Alfaiz Khalifah Alamsyah
Pendahuluan
Penyelenggaraan demokrasi secara nyata tercermin pada keleluasaan ruang publik yang menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan suara dan perspektif. Ruang publik menurut Jurgen Habermas adalah ruang bebas dari intervensi, dimana individu yang ada di dalamnya terbebas dari ikatan atau pengaruh luar (terutama dari negara dan pemerintahan). Demokrasi adalah hal penting bagi perkembangan suatu negara. Dikatakan demikian karena jika perkembangan demokrasi menuju arah yang baik maka akan membawa kemajuan pada negara tersebut. Kesungguhan Indonesia dalam proses demokrasi tertuang dalam Pasal 18 UUD RI 1945 sesudah amandemen tentang pemerintahan daerah, yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang terbagi atas pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, dimana setiap pemerintah daerah berhak mengatur sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Mekanisme ini dikenal umum sebagai otonomi daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemerintahan Daerah), ada tiga asas utama dalam kerangka otonomi daerah, yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga asas ini juga membawa perubahan warna demokrasi di Indonesia terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut Pemilukada) yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini dilatarbelakangi dengan tujuan rakyat dapat berperan aktif dalam berdemokrasi sehingga Kepala Daerah yang terpilih bisa mempunyai nilai obyektif dari masyarakat.
Pemilihan langsung kepala daerah melalui konsep otonomi daerah memang merupakan suatu terobosan yang baik bagi Indonesia dalam berdemokrasi. Namun demikian, secara faktual dinamika perkembangan hukum dan demokrasi di Indonesia saat ini belum menunjukan hasil yang positif bahkan sering kali menimbulkan permasalahan dan kekecewaan di dalam masyarakat. Sengketa pemilukada, korupsi, money politics, pungutan liar, anarkisme antar kelompok dan isu SARA adalah serangkaian permasalahan yang selalu menjadi momok bagi penegakan hukum dan proses demokrasi. Oleh sebab itu tulisan ini akan mengkaji bagaimana pelaksanaan hukum dan demokrasi di Indonesia terkait dengan otonomi daerah. Apa saja kendala yang dihadapi indonesia sehingga proses hukum dan demokrasi menjadi mandek (stagnant) jika dilihat dari perspektif historis dan struktur sosial?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode historis. Peneliti menggunakan teknik kepustakaan dan teknik dokumentasi dalam pengumpulan data. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis mengambil kesimpulan bahwa stagnasi indeks demokrasi tidak terlepas dari pengaruh jejak kultur feodal yang ditinggalkan era kolonialisme dan struktur masyarakat bangsa Indonesia.
Studi pustaka digunakan agar bisa memahami landasan teori lebih dalam penulisan jurnal ini. Selain itu juga agar bisa mendapatkan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Sementara pengumpulan data dilakukan untuk validasi penelitian. Sumber literatur didapat dari buku dan jurnal di internet. Sementara data-data yang digunakan didapat dari laman terpercaya di internet.
Stagnasi Indeks Demokrasi Indonesia
Dinamika Indonesia dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis hingga kini masih terus dihadapkan oleh berbagai persoalan yang sulit untuk diakhiri. Salah satu yang berkontribusi dalam pesimistik demokrasi di Indonesia adalah praktik politik identitas dan polarisasi isu yang semakin ramai diperbincangkan dalam banyak forum diskusi menjelang momentum pemilihan presiden. Politik identitas merupakan mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik (Haboddin, 2012). Sedangkan polarisasi isu merujuk pada pengutuban situasi politik yang dibuat seakan-akan hanya ada dua kubu dengan posisi saling berlawanan; kubu lawan dilekatkan karakteristik sifat ekstrem negatif yang harus diminimalisasi agar tidak mendominasi diskursus politik (Tucker dkk., 2018).
Syarwi (2022) mengungkapkan bahwa pemanfaatan mekanisme prosedural dengan praktik politik identitas dan polarisasi berkontribusi dalam keterbelahan publik pada pilpres tahun 2019. Adanya labelisasi diantara dua kubu pendukung yakni “Cebong” dan “Kampret” menggambarkan buruknya keberlangsungan demokrasi dalam kontestasi politik. Waldner dan Lust (2018) menjelaskan beberapa tanda-tanda kemunduran sebuah demokrasi, yakni: melemahnya institusi politik yang menopang sistem demokrasi di suatu negara, seperti pemilu yang kurang kompetitif–tanpa sepenuhnya merusak mekanisme pemilu; pembatasan partisipasi–tanpa menghapus hak pilih sebagai aspek pembentuk dan justifikasi demokrasi; serta melemahnya akuntabilitas dengan mereduksi norma pertanggungjawaban dan hukuman kepada pejabat publik.