Heterogenitas suku, agama dan budaya mempengaruhi kompleksitas struktur masyarakat. Keberagaman tersebut membentuk pola-pola hubungan antar individu dan kelompok. Heterogenitas juga dapat memicu tantangan sosial berupa konflik karena adanya kelompok-kelompok sosial dan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Dimana terdapat berbagai kepentingan kelompok dan golongan yang harus diakomodasi dengan penegakan hukum yang berkeadilan.
Setiap bangsa memiliki wawasan atau cara pandang tentang hidup bermasyarakat, demikian juga dengan bangsa Indonesia yang berpegang pada pancasila dan semboyan bhineka tunggal ika untuk mewujudkan demokrasi. Dimana pancasila menjadi sarana perekat dan Bhineka Tunggal Ika adalah bentuk komitmen untuk pelaksanaannya (Tjarsono, 2012). Berdemokrasi dapat dimaknai sebagai upaya mencapai kesetaraan untuk andil pada proses-proses birokrasi tanpa melihat latar belakang individu tersebut berasal. Eksistensi pancasila sebagai kiblat demokrasi di Indonesia menjadi landasan bagi lembaga aparatur negara dalam menentukan keputusan dan menetapkan kebijakan. Demokrasi Pancasila mengandung unsur-unsur kesadaran religius, kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur yang tercermin pada kekeluargaan dan gotong-royong (Nasution, 2010). Demokrasi pancasila memuat prinsip kebebasan atau persamaan, kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab (Asshiddiqie, 2011).
Indonesia mengalami empat masa periode demokrasi yaitu demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila orde baru, dan demokrasi pancasila era reformasi. Dinamika tersebut menjadi bentuk realitas dari perubahan struktur masyarakat di Indonesia yang mencakup aspek ekonomi, politik dan budaya dari waktu ke waktu. Apabila pada periode sebelumnya Indonesia dihadapkan persoalan fundamental yaitu menyamakan ideologi yang tercermin dari banyaknya gerakan separatisme, saat ini persoalan ketimpangan aksesibilitas dan pemerataan perlu menjadi sorotan. Angka In-Migrasi dan Out-Migrasi Per Provinsi di Indonesia tahun 2010 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa DIY dan Sumatera Barat memiliki persentase Out-migrasi paling besar yaitu 21,9% dan 19%. Marianti (2017) menjelaskan bahwa keduanya dilatarbelakangi oleh faktor yang berbeda, DIY disebabkan oleh faktor tatanan kota non industri sedangkan Sumatera Barat karena budaya. Pada lanskap yang lebih luas, kepadatan sumber daya, kesediaan infrastruktur dan pertumbuhan sektor ekonomi di daerah Jawa lebih masif dan dominan dibandingkan daerah lain. Hal tersebut turut membentuk struktur masyarakat hierarkis tanpa disadari.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 pada tahun 2020 muncul problematika kebijakan terkait penetapan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. O’Brien and Bosc (2009) mendefinisikan omnibus law sebagai suatu rancangan undang-undang (bill) hukum yang ditujukan untuk mengamandemen, mencabut, atau menetapkan secara sekaligus beberapa hukum yang memuat lebih dari satu aspek. Selaras dengan visi presiden Joko Widodo pada periode keduanya, omnibus law menjadi upaya pemerintah dalam menyederhanakan peraturan perundang-undangan guna menciptakan iklim investasi yang mudah dan kondusif untuk terciptanya lapangan pekerjaan, serta memudahkan perizinan yang berbelit termasuk pemberantasan pungutan liar. Aksi demo buruh dan mahasiswa dipicu oleh isi draft rancangan yang dinilai hanya mengutamakan investasi dan mengenyampingkan serta melemahkan hak para pekerja. Beberapa diantaranya adalah kebijakan eksploitatif terkait durasi waktu bekerja pada pasal 78, outsourcing yang memudahkan perusahaan memutus hubungan kerja pada pasal 89 ayat 2, penghilangan ketentuan upah minimum di kabupaten hingga penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan dan diubah menjadi sanksi administrasi. Kebijakan tersebut kontra produktif dengan dasar-dasar nilai pancasila dan pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang keadilan dan kesejahteraan. Suprapto (2020) mengungkapkan bahwa minimnya transparansi dan partisipasi publik tercermin dari jumlah 138 anggota satgas yang sebagian besar berasal dari kalangan pemerintahan dan pengusaha, dimana seharusnya akademisi, ahli, kelompok masyarakat, orang yang berkompeten, buruh dan pekerja juga terlibat. Hasil putusan Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, pada sidang pembacaan putusan 25 November 2021 menyatakan bahwa proses legislasi (pembuatannya) cacat atau inkonstitusional. Anwar menambahkan, “Tetapi putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan oleh amar putusan MK inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku,”.
Integritas lembaga pemerintahan dan pejabat publik merefleksikan bagaimana penyelenggaraan demokrasi di suatu negara. Merujuk pada realitas yang terjadi, Indonesia dengan segala ideologi dan wawasan yang dimiliki seperti pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika masih perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam konteks sikap objektif untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadilan.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2011). Hukum tata negara & pilar pilar demokrasi.
Habermas, J. (2012). Ruang publik: Sebuah kajian tentang kategori masyarakat borjuis. Terjemahan
Haboddin, M. (2012). Menguatnya politik identitas di ranah lokal. Jurnal Studi Pemerintahan, 3(1). 109–126.
Koho, I. R. (2021). Oligarki dalam demokrasi Indonesia. Lensa, 15(1), 60–73. https://doi.org/10.58872/lensa.v15i1.6
Mariyanti, T. (2017). Pengaruh industrialisasi terhadap migrasi per propinsi di indonesia pada tahun 2010. Media Ekonomi, 18(1). https://doi.org/10.25105/me.v18i1.6