Keempat, artikel ini secara keseluruhan menunjukkan bagaimana tragedi genosida menjadi tolok ukur evaluasi atas bobroknya sistem jaringan pengaman sosial, terutama bagi perempuan atau perempuan Tutsi khususnya. Kejahatan terhadap perempuan ini dapat terjadi tidak lain karena adanya kekosongan konstruksi sistem penegakan hukum dan hak asasi manusia. Hal ini terdengar aneh karena Rwanda dinyatakan sudah meratifikasi hukum internasional tentang HAM dan mengadopsi hukum tersebut ke dalam hukum domestik mereka, tetapi sayangnya penegakan sistem hukum masih terbilang rendah untuk kaum perempuan. Banyak dari para kaum perempuan tidak bisa menikmati hak-hak nya seperti yang sudah tertulis dalam ketentuan hukum mereka, seperti misalnya hak untuk mendapatkan kebebasan dalam berbicara, kebebasan untuk berpartisipasi secara bebas dalam politik, kebebasan untuk memilih pekerjaan dan identitas diri, dan kebebasan dari serangan atau ancaman.Â
Kelima, penulis melihat bahwa ketimpangan gender yang terjadi juga mendorong terjadinya kejahatan terhadap sesama perempuan. Uniknya, ketimpangan gender disini tidak hanya berlaku terhadap laki-laki, tetapi juga terhadap sesama perempuan. Kebencian dan keegoisan sesama perempuan membawa keadaan menjadi semakin buruk, perempuan bisa sampai saling membunuh demi untuk mempertahankan hidup. Minimnya semangat women empowerment sangat terlihat dimana sesama perempuan tidak saling mendukung satu sama lain, tetapi saling menjatuhkan. Tidak segan-segan mereka memasukan nama perempuan lain untuk dijadikan target pembunuhan selanjutnya.Â
Untuk menutup tulisan ini, penting bagi kita memiliki pemahaman yang menyeluruh mengenai kontekstualisasi dari sebuah fenomena tragis kejahatan terhadap perempuan, salah satunya dalam genosida Rwanda. Dengan harapan, pemahaman kasus yang holistik tersebut dapat mengantarkan masing-masing individu bahkan selevel negara pada gebrakan-gebrakan inisiatif dalam rangka mencegah kasus-kasus serupa terulang kembali. Kedepannya, negara juga organisasi-organisasi internasional lainnya perlu hadir sebagai garda terdepan untuk bergerak cepat dan taktis menciptakan sistem hukum, pendidikan, serta ekonomi yang berkeadilan dan berpihak setara bagi perempuan, para aktor perempuan pengisi jabatan elite di pemerintahan dan sebagainya harus dibekali oleh pemahaman representasi daripada kebutuhan perempuan dan anak, dan terakhir adalah masyarakat sipil dapat membangun kesadaran untuk ikut berpartisipasi mengawasi jalannya negara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H