Mohon tunggu...
stevia oka zaki
stevia oka zaki Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tholabul 'ilmi fii sabilillah

Dimana ada kemauan pasti ada jalannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dinasti Fatimiyah, Dinasti yang Memisahkan Diri dari Kekuatan Pusat Abbasiyah di Baghdad

21 Oktober 2019   06:11 Diperbarui: 24 Oktober 2019   07:12 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Usai memisahkan diri dari kekuasaan pusat yaitu Abbasiyah, saatnya Mesir mengalami peningkatan yang signifikan di berbagai bidang. Berbagai peningkatan mulai dirasakan di Mesir mulai dari peningkatan intelektual hingga peradaban. 

Berbagai karya para intelektualpun bermunculan, bangunan dengan arsitektur yang kian eloknya seakan mencerminkan perdaban Mesir yang saat itu.

Sebenarnya Mesir masih termasuk bagian dari wilayah provinsi Abbasiyah, Baghdad namun pemimpin Mesir yang saat itu berani mengambil risiko ketika ingin memisahkan diri. Maka pada saat itu juga Mesir dapat membuktikan bahwa pemerintahannya dapat menyeimbangi pemerintahan Baghdad yang sudah maju.  Saat itu Mesir berani mengambil langkah untuk memisahkan diri dari kekuasaan pusat Baghdad karena kekuasaannya yang amat luas, memungkinkan terjadinya kelonggaran pengawasan. Melihat pengawasan pemerintah pusat yang longgar menjadikan beberapa wilayah ingin melepaskan diri dan memerdekakan wilayahnya.Perlu diketahui bahwa Fatimiyah bukanlah kekuasaan dari Mesir melainkan dari luar Mesir yang berhasil melebarkan sayapnya sampai ke negeri pyramid itu. 

Menurut Didin Saefuddin Buchori, 2009 dengan naiknya Dinasti Fatimiyah ke panggung kekuasaan, maka inilah untuk pertama kalinya kaum Syiah berhasil memegang kekuasaan politik sejak kemunculan mereka pascaperundingan Shiffin. Fatimiyah beraliran Syiah Islamiyah.

Sangat disayangkan ketika Mesir yang berbasis Islam Sunni harus dimasuki oleh dinasti Fatimiyah yang beraliran Islam Syiah.  Masuknya mereka ke Mesir menjadikan kesempatan atau moment ini untuk menyebarkan aliran Syiahnya. 

Salah satu masa kepemimpinan yang sangat aktif menyebarkan paham Syiah adalah masa kepemimpinan al-Aziz. Ada beberapa kejanggalan pada masa kepemimpinan al-Aziz yang meresahkan masyarakat sipil Mesir yang akan dipaparkan diakhir penulisan artikel ini.

Menurut Didin Saefuddin Buchori, 2009 pada periode Mesir ini, Khilafah Fatimiyah mencapai puncaknya, terutama pada masa kepemimpinan al-Muizz, al- Aziz, dan al-Hakim. Puncaknya adalah pada masa al-Aziz. 

Istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan keamanan terjamin. Kemajuan pada kekhilafahan Fatimiyah sangat terlihat jelas sesuai dengan kemajuan teknologi saat itu, mulai dari sektor perekonomiannya seperti perdagangan, industri serta pertanian.

Dinasti Fatimiyah berhasil memajukan ekonomi dan kultural Mesir juga Kairo yang bahkan kemajuannya dapat menyaingi Baghdad. Hubungan perdaganganpun berjalan sesuai dengan baik dengan negara sesama Muslim maupun dengan negara   non -Muslim. 

 Hubungan perdagangan yang dijalin dengan negara non-Muslim yaitu dengan India dan negeri-negeri Mediterania yang Kristen.Menurut Didin Saefuddin Buchori, 2009 di Mesir, Fatimiyah memperluas sampai Palestina dan Syiria lalu mengambil alih penjagaan atas tempat-tempat suci di Hijaz.Kemajuan yang telah dicapai Fatimiyah khususnya di bidang kebudayaan adalah ketika berdirinya Masjid Jami' al-Azhar yang berfungsi sebagai tempat pengkajian ilmu pengetahuan dan pusat pengkajian Islam. 

Tak lama Masjid Jami' al-Azhar tidak hanya menjadi tempat pusat kajian tetapi menjadi universitas yang tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat dengan aliran Syiah yang beraliran Sunnipun juga dapat memanfaatkannya.

Ketika awal kedatangan al-Muizz di tanah Mesir, al-Muizz benar-benar memantapkan keberadaannya di Hijaz. Sebagai dinasti yang baru saja melebarkan sayapnya, al-Muizz memantapkan pemerintahannya terhadap masyarakat sipil Mesir agar terbiasa dengan kekhilafahan baru dan dapat berpaling dari kekhilafahan lama yaitu Abbasiyah. 

Ini dilakukan juga karena dikhawatirkan terjadinya pembalasan dari pihak Abbas yang berusaha merebut kembali Mesir yang sudah jatuh di tangan Fatimiyah juga datangnya Romawi untuk merebut kembali wilayah yang pernah dikuasai sebelumnya. 

Menurut Didin Saefuddin Buchori, 2009 hal ini terjadi karena Romawi Byzantium sedang bangkit dan berambisi mewarisi Daulah Abbasiyah yang melemah.

Berbagai upaya dilakukan al-Muizz untuk mencapai taraf kehidupan masyarakat negaranya yang lebih baik. Berbagai upaya yang dilakukannya seperti memperbaiki sistem perpajakan, meningkatkan keamanan, memajukan pertanian, perdagangan, dan kerajinan, menegakkan keadilan, dan tetap memberi toleransi kepada seluruh anggota masyarakat (Didin Saefuddin Buchori, 2009). 

Pada masa kekhilafahan al-Muizz inilah paham Syiah mulai dikenalkan dan disebarkan. Mulai terlihat ketika al-Muizz mengadakan enam perayaan maulid, yaitu berkenaan dengan kelahiran Nabi, Ali, Fatimah, Hasan, Husein, dan khalifah yang sedang berkuasa. Khalifah al-Muizz hanya berkuasa selama dua tahun di Mesir. Ia wafat pada tahun 365 H/ 975 M (Didin Saefuddin Buchori, 2009)

Tak lama al-Aziz lah yang menggantikan posisi al-Muizz sebagai khalifah Bani Fatimiyah. Al-Aziz menjadi khalifah pengganti al-Muizz yaitu ketika berusia 20 tahun. Pada masa al-Aziz lah Bani Fatimiyah menjadi lebih unggul dari Abbasiyah dan lebih dari sekedar saingan. 

Dikatakan lebih unggul karena pada masa itu Bani Fatimiyah lah yang menjadi satu-satunya dinasti dengan angkatan laut di Laut Tengah sebelah timur yang dimilikinya. 

Fatimiyah berhasil memperluas wilayah kekuasaanya yang terbentang dari Samudra Atlantik, di sebelah barat sampai Laut Merah, Yaman, Hijaz, Damaskus, dan Mosul di sebelah timur (Didin Saefuddin Buchori, 2009).

Pasa masa al-Aziz lah pembangunan Jami' mulai disempurnakan oleh anaknya dengan membangun perpustakaan besar di dalam istana dengan buku sebanyak satu juta buku. Buku yang tersediapun dari berbagai macam ilmu. Lalu Jami' ini diubah menjadi Jami' al- Azhar seperti yang kita kenal saat ini yaitu al-Azhar University. 

Al-Aziz sangat aktif menyebarkan paham Syiah kepada masyarakat Mesir dan berambisi untuk mensyiahkan masyarakat sipilnya. Al- Aziz wafat pada tahun 368 H/ 996 M dalam usia 44 tahun. 

Sebagaimana yang disebutkan Ibnu Khalikan yang dikutip oleh Didin Saefuddin Buchori, 2009 bahwa ia wafat karena dokter pribadinya salah memberikan obat.

Al-Hakimlah sebagai khalifah pengganti al-Aziz yang telah wafat. Al-Hakim menggantikan posisi al-Aziz ketika ia berusia 11 tahun. Usianya terbilang masih sangat belia maka untuk memangku jabatan khalifah ia butuh pendampingnya yang disebut dengan Barjuan. 

Tugas Barjuan tidak hanya sebagai pendamping al-Hakim saja namun ia juga bertugas sebagai guru dan pendidik pribadinya. Sayangnya pendamping, guru, sekaligus pendidiknya yang telah digelari Amin ad-Dawlah (kepercayaan kerajaan) berlaku ditaktor tanpa memperdulikan Khalifah (Didin Saefuddin Buchori, 2009).

Menurut sejarawan karena al-Hakim sama sekali tidak mempunyai kekuasaan, sedangkan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Barjuan. Al-Hakim merasa terkekang oleh gurunya itu, akhirnya memutuskan untuk membunuhnya. 

Al-Hakim memiliki kepribadian yang unik sehingga dengan keunikannya banyak dari orang Barat maupun Timur yang tertarik dengannya terutama dari kalangan orientalis. 

 Pada masa awal pemerintahannya, perhatiannya pada kaum kecil sangatlah tinggi dan semaksimal mungkin ia juga memajukan sektor pertanian.

Sifatnya yang beik ini membuat rakyat-rakyat kecil merasa aman di bawah kepemimpinannya. Ketika usianya menginjak ke 20 tahun, ia mendirikan Dar al-Hikmah. Berdirinya al-Hikmah ini tampaknya meniru apa yang disebut dengan Bait al-Hikmah di Baghdad. 

Al-Hikmah sebagai tempat sumber ilmu pengetahuan sehingga membutuhkan banyak ilmuwan ternama dengan berbagai bakat yang dimiliki. Menurut Didin Saefuddin Buchori, 2009 pada tahun 400 H, al- Hakim menetapkan untuk hidup berzuhud, makan minum sedikit, menutup dapur rumah tangga Khalifah, melarang orang menyebut dirinya Maulana, meninggalkan kebiasaannya naik kuda dan menggantinya dengan naik himar, membaur dengan rakyat tanpa berpayung dan pengawal, menghapuskan semua gelar baru, dan membebaskan semua budak, baik laki-laki maupun perempuan.

Kepribadian unik dan misterius al-Hikmah yang banyak diketahui orang membuat kematiannya juga misterius. Al-Hikmah terbunuh di atas himarnya sendiri, dan ketika itu himarnya sudah bersimbah darah sedangkan pembunuhnya tidak diketahui. 

Ia wafat pada tahun 411 H yang kemudian kekhalifahannya digantikan oleh putranya yaitu Adz- Dzahir. Sepeninggalan ayahnya al-Hikmah ia meninggalkan beberapa larangan dan perintah untuk masyarakat sipilnya.

Menurut Didin Saefuddin Buchori, 2009 beberapa larangan dan perintahnya yang terdengar lucu tersebut diantaranya. Pertama, melarang menjual mulukhiyah (jenisi sayuran) karena Muawiyah menyukainya, memerintahkan agar bekerja di malam hari dan tidur di siang hari, melarang menanam pohon anggur karena ia tak suka minum minuman keras. Kedua, al-Hakim mempunyai mata-mata yang terdiri atas wanita-wanita yang keluar masuk rumah-rumah penduduk. 

Mata-matanya membuat orang-orang mengira al-Hakim mempunyai kemampuan ghaib sehingga ia tahu segala hal yang dilakukan masyarakat sipilnya.

Berikut beberapa faktor terjadinya kelemahan serta kemunduran Bani Fatimiyah. Menurut Didin Sefuddin Buchori, 2009 beberapa faktor penyebabnya adalah pertama, politik Fatimiyah yang keras terhadap masyarakat Sunni Mesir untuk menganut dan mengakui ajaran Syiah. 

Pada masa al-Aziz, misalnya, ia pernah membatalkan shalat tarawih di seluruh masjid pada tahun 372 H. Sementara, pada masa al-Hakim, ia pernah menyuruh algojonya untuk membunuh siapa saja yang tidak mengakui keistimewaan Ali. Bahkan, klimaksnya adalah al-Hakim pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan (Didin Saefuddin Buchori, 2009). 

Kedua, peran khalifah yang tidak berfungsi secara utuh. Dari sekian banyaknya khalifah ada beberapa yang diangakat menjadi khalifah ketika usianya masih sangat belia yaitu al-Hakim yang berusia 11 tahun dan al-Mustanshir yang diangkat menjadi khalifah pada usia 7 tahun. Usianya terbilang masih sangat belia maka untuk memangku jabatan khalifah ia butuh pendamping yang disebut dengan Barjuan.

Ketiga, persaingan dan perebutan dalam menduduki kursi wazir khalifah. Pada awal dinasti ini memobilisasi pendukung di Afrika Utara, sebagian besar pengikutnya berasal dari bangsa Barbar (Didin Saefuddin Buchori, 2009). Keempat, terjadinya pemberontakan di Mesir dan sekitarnya. 

Ketika al-Mustanshir berkuasa (1036-1094), terjadi perselisihan antara para jenderal dan wazir (Didin Saefuddin Buchori, 2009). Kelima, lemahnya perekonomian rakyat dan negara. Salah satu yang menjadi sumber kehidupan manusia yaitu air yang dihasilkan dari sungai Nil mengalami penyusutan dan kekeringan. 

Peristiwa ini terjadi bertahun-tahun sehingga berpengaruh pada sektor pertanian dan perekonomianpun juga ikut berpengaruh. Akibatnya, panen hancur, kelaparan meluas, dan wabah penyakit menyebar tanpa bisa dicegah (Didin Saefuddin Buchori, 2009)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun