Â
Kelompok behavioralis beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara ilmu social dan ilmu pasti atau eksakta. Kelompok behavioralis percaya bahwa ilmu social juga dapat dikaji secara ilmiah seperti politik yang dapat diteliti secara ilmiah melalui kajian terhadap tindakan, sikap, pilihan, dan ekspektasi orang di bidang politik pada isu atau permasalahan tertentu (Khasan Ashari, 2015). Kelompok yang kontra pada pandangan behavioralis adalah tradisionalis yang mana kelompok ini tidak menyetujui bahwa ilmu social dapat disamakan dengan ilmu eksakta. Pendekatan tradisionalis didasarkan pada aspek filsafat, hukum, dan sejarah sehingga proposisi dalam studi hubungan internasional dihasilkan dari persepsi dan intuisi yang tidak sepenuhnya bersifat ilmiah (Khasan Ashari, 2015). Perdebatan besar kedua ini akhirnya menghasilkan aliran baru yaitu positivism yang pada hakikatnya adalah pegembangan dari pendekatan behavioralis.
Â
Setelah terjadi perdebatan antara pendekatan behavioralis dan tradisionalis, perdebatan antar-teoripun terjadi yang mana disebut juga dengan inter-paradigm debate. Perdebatan antar-teori hubungan internasional ini terjadi pada tahun 1970 (Khasan Ashari, 2015). Pendekatan atau aliran yang menjadi perdebatan Inter-paradigm yaitu tiga pendekatan atau aliran besar yaitu realism, liberalism, dan radicalism. Â
Â
Adapun pendapat realis bahwa hubungan antarnegara berlangsung di tengah sistem politik internasional yang anarkis sehingga cara terbaik untuk memahaminya adalah dengan memfokuskan perhatian pada pembagian kekuasaan di antara negara-negara. Pendekatan liberal juga berpendapat bahwa kebebasan individu merupakan nilai utama yang harus ditegakkan dan hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan demokrasi pada tingkat domestik. Lalu pendekatan radicalism juga tak mau kalah untuk mengemukakan pendapatnya bahwa kelompok radical mengedepankan ketidaksetaraan structural dalam sistem internasional serta mengkritik realism dan liberalism karena dipandang mendukung pola distribusi kekuatan dan kesejahteraan yang dianggap tidak adil (Khasan Ashari, 2015).
Â
Inilah perdebatan besar terakhir yang muncul pada pertengahan tahun 1980-an antara pendukung rationalism dan reflectivism; atau sering disebut juga antara positivism dan post-positivism.[5] Pendukung rationalism adalah yang didalamnya meliputi pendekatan realism dan liberalism yang lebih memprioritaskan aspek metodologi guna mengukur serta menganalisis fenomena yang terjadi di lapangan yang dapat diobservasi dengan kompleks. Berbeda dengan reflectivism, menurut Khasan Ashari, 2015 reflectivism menolak pendapat rationalism dan mengedepankan kajian yang bersifat interpretative dan subjektif serta berpandangan bahwa nilai-nilai (values) tidak dapat ditinggalkan dalam proses observasi. Teori-teori hubungan internasional yang masuk dalam kategori reflectivism atau post-positivism antara lain adalah post-modernism, feminism, constructivism, dan critical theory.[6]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H