Mohon tunggu...
Stevi Syalawati
Stevi Syalawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Berusaha terus menulis dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Tradisi Nyadran, Patut Dilestarikan

13 September 2022   09:45 Diperbarui: 17 September 2022   19:17 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri (kegiatan nyadran oleh warga Karangmiri)

Jakarta - Setiap daerah mempunyai unsur budaya dan adat istiadat masing-masing, tak terkecuali Jawa Tengah tepatnya pada desa Kwasen dukuh Binangun Karangmiri, Pekalongan. Menjadi bagian dari daerah Jawa Tengah, Pekalongan mempunyai ada istiadat yang unik seperti wayang, nyadran, weton, tarian, makanan, dsb.

Namun saat ini yang akan dibahas adalah nyadran, apa yang terbesit dalam pikir kalian mendengar kata nyadran? Cukup unik untuk yang pertama kali mendengar adat istiadat ini. Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi nyadran dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima pada saat itu.

Saat itu para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam yang dinilai musyrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.

Di desa Kwasen dukuh Binangun Karangmiri, nyadran dilakukan sebagai ucapan rasa syukur atas kesehatan, kelimpahan bahan pangan, dan hal-hal baik lainnya sebelum memasuki bulan suci Ramadhan tepatnya di hari ke-10 bulan rajab. Dalam tradisi nyadran ada dua tahap yaitu tahap selametan dan tahap ziarah. 

Pada tahap selametan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.

Tradisi tersebut dilakukan oleh warga desa dengan membawa makanan masing-masing seperti tempe, tahu, lalapan, nasi liwet, dan makanan tradisional lainnya.

Mereka berjalan kaki bersama dari desa menuju bukit di mana ada sebuah makam leluhur yang akan menjadi tempat untuk pembacaan doa, tak luput bacaan doa dan tahlil mereka ucapkan sepanjang perjalanan. Untuk menuju bukit memakan waktu kurang lebih 60menit.

Tradisi tersebut rutin dilaksanakan dari tahun ke tahun agar tetap menjadi adat istiadat yang diteruskan dari para leluhur kepada masyarakat desa yang sampai saat ini mereka yakini. Walaupun pada awal munculnya nyadran dinilai sebagai kegiatan musyrik, seiring berkembangnya zaman nyadran dilakukan dengan bacaan-bacaan doa serta ayat suci Al-Quran yang menjadikan nyadran masih terus berkembang dan dilestarikan.

Nyadran memiliki pro dan kontra bagi sebagian orang karena kegiatannya masih dianggap musyrik, tetapi nyadran mempunyai nilai sosial yang tinggi dan mengajarkan untuk selalu bersyukur atas apa yang diberikan tanpa terkecuali, kebersamaan antar sesama, serta memiliki rasa saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Maka dari itu tradisi tersebut patut untuk dilestarikan pada saat ini sampai nanti sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Dokpri (kegiatan nyadran oleh warga Karangmiri)
Dokpri (kegiatan nyadran oleh warga Karangmiri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun