Mohon tunggu...
Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan fakultas ushuluddin jurusan akidah dan filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Waspada terhadap Popularitasmu!

31 Maret 2024   20:15 Diperbarui: 31 Maret 2024   20:19 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"ادْفِنْ وُجودَكَ في أَرْضَ الخُمولِ ، فَما نَبَتَ مِمّا لَمْ يُدْفَنْ لاَ يَتِمُّ نِتَاجُهُ"

"Tanamkanlah wujudmu di dalam bumi ketidakterkenalan, karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, maka hasilnya tidak akan sempurna"

Dunia bergerak, teknologi semakin maju, dan itu adalah sebuah keniscayaan. Semakin berubahnya dunia semakin menjadikan pola bermasyarakat kita juga berubah. Kondisi tersebut mengharuskan kita untuk merubah paradigma dalam berkomunikasi. Dengan cara pandang yang berubah maka permasalahan-permasalahan baru pun ikut tercipta, penyakit baru sosial.

Hal itu tidak bisa kita cegah tapi bisa kita waspadai. Era digital menjadi penanda baru bahwa kita akan lebih banyak hidup lewat percakapan dunia maya, dibanding dunia nyata. Jangankan dengan teman, terkadang komunikasi dengan keluarga pun lebih banyak dihabiskan lewat media sosial.

Dengan kondisi yang semakin berkembang terjadi sebuah goncangan dalam struktur alam bawah sadar manusia, bahwa tidak lengkap rasanya hidup di dunia seperti saat ini tanpa adanya suatu pekerjaan yang kita tunjukan kepada orang-orang melalui media sosial bahwa kita sedang apa, dimana dan dalam kondisi seperti apa.

Semakin menarik ketika ternyata apa yang kita  bagikan mengundang antusias banyak orang. Baik dari kalangan yang mengenal kita ataupun yang tidak. Maka yang terjadi dalam setiap apa yang kita lakukan akhirnya kita terlalu haus akan perhatian dan simpati untuk memvalidasi seluruh apa yang sudah kita kerjakan. Ini yang perlu kita waspadai, karena akan menyebabkan apa yang kita kerjakan jauh dari definisi ikhlas yang sudah kita bahas sebelumnya.

 Dalam hikam bagian ini kita akan membahas rumus jitu yang disarankan oleh Ibnu Atha'illah bagi siapapun yang ingin mewujudkan keikhlasan pada setiap apa yang dikerjakan. Pada bagian lalu kita sudah sama-sama mengetahui bahwa definisi Ikhlas bagi para praktisi tasawuf setidaknya berkutat pada kalimat "ikhrajul khalq min mu'amalati al-haq" yaitu bagaimana kita bisa menghilang sesuatu yang bersifat sementara atau manusia dari setiap perbuatan yang sedang kita persembahkan kepada Tuhan. Bukankah setiap apa yang kita kerjakan adalah sebagai persembahan untuk Tuhan?

Kita mengenal bahwa konsep ibadah tidak hanya berkutat pada seputar suatu ritual tertentu atau dalam konsep fiqh kita mengenalnya sebagai 'ibadah al-mahdhah. Konsep ibadah yang kita pahami adalah sangat luas karena meliputi segala aspek kegiatan kita sehari-hari. Maka dari itu semua perbuatan kita dalam konteks islam adalah bernilai ibadah, apapun perbuatan kita, dari yang bersifat privat maupun publik.

Terdapat satu kata menarik yang perlu disoroti dalam hikam ini, yaitu khummul. Ibnu 'Ajibah mendefinisikan kata khummul ini dengan sebuah kalimat suquth al mazilah 'inda an nas yaitu ketika kita membenamkan diri pada suatu keadaan dimana orang-orang tidak bisa melihat ataupun mengenali kita.

Dari sini kita mengetahui bahwa yang perlu diwaspadai adalah perbuatan kita di ruang publik, walaupun pada kenyataan godaan berbuat maksiat di ruang privat juga besar, tetapi yang ingin dikritik oleh Ibnu Atha'illah adalah bagaimana kita bergerak di keramaian dapat menimbulkan sesuatu yang menghasilkan dampak negatif bagi diri kita khususnya maupun bagi orang lain secara umum.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa keadaan hari ini selalu mendesak kita untuk bisa memposting atau men-update segala apa yang sedang kita lakukan terlebih jika kita sebagai influencer di berbagai platform media sosial. Tetapi apakah kita sudah mengoreksi, bahwa yang kita lakukan semata-mata untuk menarik perhatian followers saja atau memang murni sebagai gerakan moral dari hati sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan? Dari sini mungkin terasa masih bingung dan ambigu untuk membedakan keduanya. Mari kita ulas.

Sebelum kita memposting segala sesuatu perlu dikoreksi bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk meraih perhatian publik atau memang hanya untuk kepentingan dirimu pribadi? Setidaknya, untuk menjelaskannya aku akan memulai dari pertanyaan tersebut.

Membagikan pekerjaan kita di media sosial jika hanya sebatas untuk membagikan sesuatu dengan apa adanya tanpa ada keinginan untuk meraih antusias publik adalah hal yang masuk pada kategori sebagai gerakan moral yang berasal dari hati, karena kamu membagikannya sesuai keinginmu tanpa ada intervensi dari manapun.

Berbeda dengan jika kita sudah berkutat pada pertanyaan "apakah orang-orang akan menyukainya jika saya membagikan ini atau tidak?" Karena pada faktanya jika antusias publik terhadap perhatian yang kita harapkan berkurang atau tidak ada sama sekali lantas kemudian membuat diri kita akan menjadi kecewa dan mengeluh. Inilah yang disebut sebagai sebuah kekhawatir penyakit sosial baru.

Kembali pada definisi khummul Ibnu 'Ajibah, beliau mengatakan bahwa menghindar dari keramaian manusia atau khalayak umum akan melatih diri kita agar dapat merasakan manisnya suatu pekerjaan yaitu ikhlas.

Metode ini merupakan tahapan yang dipakai oleh para praktisi tasawuf yang akrab disebut sebagai riyadhah atau latihan. Biasanya mereka sering melakukan latihan ini sesuai perintah dari seorang guru sebagai mujarabat yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Dalam metode ini dipercayai oleh kalangan mereka sebagai cara yang manjur atau sebagai rumus jitu untuk mencapai suatu yang sedang dituju, seperti Ikhlas dalam konteks ini.

Lantas apakah bisa kita gunakan dalam konteks kekinian untuk menjadi sebuah solusi dari pelbagai situasi yang sudah aku sampaikan sebelumnya? Dengan semua kemajuan teknologi, dan bergesernya paradigma dalam bersosialisasi. Jawabannya adalah sangat bisa karena sangat relevan dengan apa yang kita rasakan pada saat kondisi dan situasi saat ini!

Terkadang kita terlalu sering terjebak dengan cover yang justru tidak menggambarkan isi dari sesuatu tersebut. Itulah yang terjadi saat ini. Terlalu banyak manusia berbondong-bondong memperbaiki sesuatu yang terlihat nampak tanpa memperhatikan isinya. Semua terjadi karena mereka berlomba untuk meraih validasi dari orang lain. Mendedikasikan hidupnya hanya untuk mendapakan perhatian.

Dalam ilmu psikologi ada yang disebut NPD (narcissitic personality disorder) dimana seseorang memiliki gangguan kejiwaan karena haus akan validasi. Dalam kondisi ini mereka akan sangat menganggap dirinya penting dari orang lain sehingga hanya mereka yang layak dikagumi dan dicintai. Ini sangat berbahaya karena berakhir pada situasi yang menganggap selain dirinya itu tidak penting.

Untuk menanggulangi penyakit sosial seperti ini, rumus atau metode riyadhah dari Ibnu 'Athaillah menjadi salah satu obat yang bisa menyembuhkan bagi yang ingin berubah atau menahan setidaknya bagi mereka yang sudah terlanjur tenggelam di dalam dunia media sosial.

Membenamkan diri pada kesunyian akan melatih kita untuk bagaimana menghargai proses dari setiap pekerjaan. Agar tidak terburu-buru, dan tergesa-gesa dalam segala sesuatu. Dengan keyakinan bahwa segalanya tidak ada yang instan.

Dengan pelajaran tersebut kita tidak akan jumawa atau si paling, tidak menghargai orang lain dan terhindar dari sifat pamer dan riya' sekalipun jika kita sudah mendapatkan sebuah popularitas.

Perlu ditekankan bahwa justru popularitas yang terlahir dari ketergesa-gesaan hanya akan meredup ketika kita sudah dipandang tidak penting di mata publik. Sebaliknya, bahwa popularitas yang diraih dari ketekunan dan kesabaran dengan membenamkan diri dari keramaian akan terus dikenang. Karena buah dari pekerjaan dengan bertujuan ikhlas yang memberikan apresiasi bukan hanya makhluk, tetapi juga sang Khaliq. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun