Mohon tunggu...
Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan fakultas ushuluddin jurusan akidah dan filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Waspada terhadap Popularitasmu!

31 Maret 2024   20:15 Diperbarui: 31 Maret 2024   20:19 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.exponesia.id/pengertian-tasawuf/

Tidak bisa kita pungkiri bahwa keadaan hari ini selalu mendesak kita untuk bisa memposting atau men-update segala apa yang sedang kita lakukan terlebih jika kita sebagai influencer di berbagai platform media sosial. Tetapi apakah kita sudah mengoreksi, bahwa yang kita lakukan semata-mata untuk menarik perhatian followers saja atau memang murni sebagai gerakan moral dari hati sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan? Dari sini mungkin terasa masih bingung dan ambigu untuk membedakan keduanya. Mari kita ulas.

Sebelum kita memposting segala sesuatu perlu dikoreksi bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk meraih perhatian publik atau memang hanya untuk kepentingan dirimu pribadi? Setidaknya, untuk menjelaskannya aku akan memulai dari pertanyaan tersebut.

Membagikan pekerjaan kita di media sosial jika hanya sebatas untuk membagikan sesuatu dengan apa adanya tanpa ada keinginan untuk meraih antusias publik adalah hal yang masuk pada kategori sebagai gerakan moral yang berasal dari hati, karena kamu membagikannya sesuai keinginmu tanpa ada intervensi dari manapun.

Berbeda dengan jika kita sudah berkutat pada pertanyaan "apakah orang-orang akan menyukainya jika saya membagikan ini atau tidak?" Karena pada faktanya jika antusias publik terhadap perhatian yang kita harapkan berkurang atau tidak ada sama sekali lantas kemudian membuat diri kita akan menjadi kecewa dan mengeluh. Inilah yang disebut sebagai sebuah kekhawatir penyakit sosial baru.

Kembali pada definisi khummul Ibnu 'Ajibah, beliau mengatakan bahwa menghindar dari keramaian manusia atau khalayak umum akan melatih diri kita agar dapat merasakan manisnya suatu pekerjaan yaitu ikhlas.

Metode ini merupakan tahapan yang dipakai oleh para praktisi tasawuf yang akrab disebut sebagai riyadhah atau latihan. Biasanya mereka sering melakukan latihan ini sesuai perintah dari seorang guru sebagai mujarabat yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Dalam metode ini dipercayai oleh kalangan mereka sebagai cara yang manjur atau sebagai rumus jitu untuk mencapai suatu yang sedang dituju, seperti Ikhlas dalam konteks ini.

Lantas apakah bisa kita gunakan dalam konteks kekinian untuk menjadi sebuah solusi dari pelbagai situasi yang sudah aku sampaikan sebelumnya? Dengan semua kemajuan teknologi, dan bergesernya paradigma dalam bersosialisasi. Jawabannya adalah sangat bisa karena sangat relevan dengan apa yang kita rasakan pada saat kondisi dan situasi saat ini!

Terkadang kita terlalu sering terjebak dengan cover yang justru tidak menggambarkan isi dari sesuatu tersebut. Itulah yang terjadi saat ini. Terlalu banyak manusia berbondong-bondong memperbaiki sesuatu yang terlihat nampak tanpa memperhatikan isinya. Semua terjadi karena mereka berlomba untuk meraih validasi dari orang lain. Mendedikasikan hidupnya hanya untuk mendapakan perhatian.

Dalam ilmu psikologi ada yang disebut NPD (narcissitic personality disorder) dimana seseorang memiliki gangguan kejiwaan karena haus akan validasi. Dalam kondisi ini mereka akan sangat menganggap dirinya penting dari orang lain sehingga hanya mereka yang layak dikagumi dan dicintai. Ini sangat berbahaya karena berakhir pada situasi yang menganggap selain dirinya itu tidak penting.

Untuk menanggulangi penyakit sosial seperti ini, rumus atau metode riyadhah dari Ibnu 'Athaillah menjadi salah satu obat yang bisa menyembuhkan bagi yang ingin berubah atau menahan setidaknya bagi mereka yang sudah terlanjur tenggelam di dalam dunia media sosial.

Membenamkan diri pada kesunyian akan melatih kita untuk bagaimana menghargai proses dari setiap pekerjaan. Agar tidak terburu-buru, dan tergesa-gesa dalam segala sesuatu. Dengan keyakinan bahwa segalanya tidak ada yang instan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun