Mohon tunggu...
Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan fakultas ushuluddin jurusan akidah dan filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Tubuh Tanpa Roh Akan Mati, Begitupun dengan Amal Perbuatan

29 Maret 2024   20:15 Diperbarui: 29 Maret 2024   20:20 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"الاَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَاَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الاِخْلاَصِ فِيْهَا"

“Amal perbuatan kita hanya bentuk jasadnya saja, sedangkan rohnya adalah adanya keikhlasan disana”

Ibnu Athaillah mengibaratkan amal perbuatan dengan tubuh, dimana tubuh memiliki roh atau jiwa yang menggerakannya. Maka menurutnya amal perbuatan juga mempunyai roh yang dapat menjadikan suatu perbuatan tersebut menjadi berkualitas. Rohnya adalah Ikhlas.

Bagaikan tubuh tanpa roh yang hanya akan menjadi jasad yang mati dan tidak bergerak. Begitupun dengan amal perbuatan. Jika tidak dibarengi dengan rasa ikhlas maka perbuatan tersebut hanyalah sebuah suratun qaimatun yaitu bentuk format fisik yang sedikitpun tidak memiliki sebuah nilai.

Berbicara mengenai ikhlas agaknya ini adalah pesoalan yang merupakan masalah keseharian kita. Dalam melakukan aktifitas, bekerja, dan beribadah tentu kita selalu dituntut untuk ikhlas dalam melakukannya.

Ikhlas merupakan persoalan inti dalam tasawuf, dimana darinya merujuk terhadap makna dari ihsan sesuai dalam redaksi hadits jibril yang terkenal. Tapi apakah kita pernah bertanya-tanya makna dari ikhlas itu sejatinya apa? Karena rasanya sangat berat dan sulit sekali untuk dapat Ikhlas itu. Pada bagian hikam ini mari kita urai bersama-sama.

Perlu kita identifikasikan terlebih dahulu bahwa terdapat klasifikasi dalam perbuatan makhluk hidup. Ada perbuatan yang dilakukan oleh manusia dan ada pula perbuatan yang dilakukan oleh hewan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa diferensia atau pembeda antara manusia dan hewan adalah akal. Maka begitu pula yang terjadi, perbedaan atas lahirnya jenis perbuatan dari keduanya.

Hewan bergerak melakukan segala sesuatu didasarkan atas nalurinya. Seperti contoh bahwa seekor hewan hanya bergerak sehari-harinya sesuai dengan nalurinya untuk bertahan hidup. Maka siklus yang akan terjadi hanya mencari makan, tidur, dan berkembang biak. Mereka tidak memikir hal-hal selain itu.

Sedangkan manusia berbeda. Manusia bergerak dan berbuat sesuai dengan kehendaknya (free will). Pergerakan dan perbuatan tersebut pasti didasari dengan sebuah keinginan (seperti yang pernah kita bahas sebelumnya). Dari sisi inilah perbuatan manusia ternilai atau jika meminjam istilah Ibnu Athaillah “mempunyai roh”.

Jika kita melakukan segala aktifitas tanpa didasari keinginan, lantas apa bedanya kita dengan hewan? Seakan hanya mengikuti alur sebuah naluri bahwa jika kau tidak ingin sengsara maka kau harus mempunyai banyak uang dan untuk mempunyai banyak uang maka kau harus bekerja keras! Tidak peduli pekerjaan tersebut kau sukai atau tidak, melelahkan batin dan mentalmu atau tidak, merusak fisikmu atau tidak.

Inilah yang sering kita sebut “hanya sebatas menunaikan kewajiban” agar kita tidak sengsara, yang padahal pada setiap premis yang terbangun oleh naluri tadi dapat mudah sekali dibatalkan.

Didalam islam terdapat perintah untuk menunaikan shalat. Kemudian, karena paradigma berpikir seperti sebelumnya yang dibangun maka dalam pelaksanaannya pun akhirnya hanya sebatas perintah yang jika dilakukan maka gugurlah kewajibannya. Bukan karena keinginan.

Jika karena keinginan maka kerangka berpikir yang dibangun adalah meneguhkan diri sebagai seorang hamba yang bertuhan. Jika kita adalah hamba maka Tuhan adalah entitas yang perlu kita sembah, apa bentuk persembahannya? Persembahannya adalah shalat!

Maka shalat adalah bentuk perintah yang perlu kita tumbuhkan rasa keinginannya, kaharusannya dan kebutuhannya. Bukan hanya berenti sebagai perintah agar kita tidak dimurkai oleh Tuhan.

Memang benar jika kita meninggalkan shalat Tuhan akan murka, tapi apakah kita berpikir bagaimana murkanya Tuhan jika kita shalat hanya sebatas formalitas pengguguran kewajiban dengan tidak ada keinginan tulus dan ikhlas didalamnya.

Kemurkaan Tuhan bukan hanya diartikan sebagai adzab yang pedih. Lebih dari itu, puncak dari kemurkaan Tuhan adalah saat Dia meninggalkan hamba-Nya, hilang dari hati hamba-Nya karena keangkuhan dan kesombongan disaat melakukan ibadah. Tidak ikhlas!

Bukankah lebih pedih saat batin kita kering dan kosong karena ditinggal Tuhan dibanding adzab yang menimpa fisik?

Begitupun dalam kita bekerja. Jika pekerjaan hanya didasari untuk sekedar menggugurkan kewajiban sebagai manusia maka apa yang kita lakukan hanya sebatas bertahan hidup seperti naluri seekor hewan. Tidak akan ada ketulusan didalamnya. Hanya keluh kesah yang dirasakan, kemudian yang terjadi saat mengerjakan sesuatu tersebut hanyalah berdasarkan formalitas saja. Akhirnya, kita hanya akan merugikan lingkungan sekitar.

Dalam konteks islam sebuah pekerjaan dapat bernilai menjadi sebuah ibadah jika kita lakukan dengan penuh tulus. Dengan bekerja tulus akan memberikan kebaikan bagi atasan kita atau bawahan kita, dengan bekerja tulus manfaat yang terasa untuk keluarga yang kita nafkahi akan berubah dari keluh kesah menjadi bentuk rasa syukur.

Menurut Syekh Abu Thalib definisi ikhlas adalah menegasikan pandangan makhluk dalam perbuatan yang dilakukan atas nama Tuhan. Jika kita ingin fair, perlu ditegaskan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan adalah atas nama Tuhan! Kita bergerak, makan dan minum kemudian bekerja dan beribadah tentunya, semua adalah bentuk persembahan kepada Tuhan. Sebuah bentuk penerimaan atas kehidupan yang sudah Tuhan anugerahkan atas hamba-Nya.

Maka ikhlas adalah roh dari segala apa yang kita perbuat. Perbuatan hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan jika tidak terdapat rasa ikhlas didalamnya. Tanpanya hanya akan menghilangkan esensi dari perbuatan itu sendiri.

Sebagai manusia kita pasti bisa merasakan secara fisik ketika sesuatu yang dikerjakan dengan niat jangka pendek kah, atau jangka panjang.

Masuk dalam kategori niat jangka pendek apabila dengan perbuatannya dia hanya mementingkan kesementaraan, hanya agar dapat selesai dan agar tidak membebaninya. Maka hasilnya pun adalah asal-asalan, dan tergesa-gesa.

Berbeda dengan niat jangka panjang, yaitu perbuatan yang mementingkan keabadian, kekekalan. Pahala adalah suatu yang abadi dan kekal yang akan kita panen di akhirat. Melakukan segala sesuatu dengan ikhlas akan membuahkan pahala bagi pribadi dan terlebih bagi lingkungan sekitar kita yang ikut terbantu akan manfaat atas apa yang kita perbuat.

Ibnu Ajibah membagi ikhlas kepada 3 tingkatan. Pertama adalah ikhlasnya orang-orang awam ‘awam, dimana dalam hal berikhlas mereka masih mengharapkan pamrih atas apa yang mereka perbuat secara dunia maupun akhirat. Seperti berharap atas hal-hal yang bersifat materi setelah mengerjakan sesuatu, bersamaan dengan perngharapan atas pahalanya.

Kedua adalah ikhlasnya orang-orang elit khawash, dimana dalam hal berikhlas mereka masih mengharapkan pamrih atas apa yang mereka perbuat secara akhirat saja. Hanya berharap pada pahalanya saja.

Dan yang ketiga adalah ikhlasnya orang elit dari kalangan orang-orang elit khawash al-khawash, dimana dalam hal berikhlas mereka benar-benar tidak mengharapkan pamrih apapun. Mereka melakukannya mutlak sebagai ibadah untuk Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang didalam hatinya tidak ada yang lain selain Tuhan, bahkan mereka kategorikan sebagai maksiat jika hati mereka tergelincir terhadap sesuatu yang selain Tuhan.

Jika aku ingin menambahkan sebetulnya masih ada satu tingkatan lagi yaitu tingkatan yang lebih rendah dari tingkatan pertama, tingkatan awam dari kalangan orang-orang awam ‘awam al-‘awam, dimana ini banyak terjadi pada diri kita. Seperti saat kita mengatakan bahwa kita ikhlas mengerjakan sesuatu tetapi pada kenyataannya hati kita berbicara tidak. Ini banyak disebut dengan kalimat “lain di kata lain di hati”

Kemudian dari tingkatan paling rendah tersebut banyak yang akhirnya tergelincir pada sifat yang berlawanan dengan ikhlas yaitu riya. Sifat ini yang disebutkan sebagai sifat yang paling ditakutkan oleh kanjeng Rasul masuk kedalam hati umatnya. Bahkan Rasul mengategorikannya sebagai syirk al-khafy yaitu syirik yang tidak nampak. Semoga Tuhan selalu melindungi kita dari perbuatan tersebut!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun