Mohon tunggu...
Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan fakultas ushuluddin jurusan akidah dan filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Tingkatan Amal Perbuatan

27 Maret 2024   20:15 Diperbarui: 27 Maret 2024   20:28 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://islamindonesia.id/wp-content/uploads/2018/04/KISAH-%E2%80%93-Teladan-Ulama-Sepuh-Sikapi-Suara-Ulama-Muda-e1524225655699.png

"تَنَوَّعَتْ أَجْنَاسُ الْأَعْمَالِ لِتَنَوُّعِ وَارِدَاتِ الْأَحْوَالِ"

"Kualitas dan jenis amal perbuatan kita berbeda, karena perbedaan kualitas spiritual kita"

Beberapa tahun terakhir ini banyak dari praktek-praktek umat muslim di Indonesia yang hanya berfokus dengan memperbaiki dzahir-nya saja. Terlebih jika sudah mencapai pada kondisi dimana mereka menanamkan sebuah paradigma berpikir bahwa muslim sejati adalah mereka yang menonjolkan identitasnya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu.

Simbol-simbol ini bersifat dzahir maka yang menjadi fokusnya adalah bagaimana mereka dapat untuk menghias apa yang nampak di luar. Jikalau pun mereka itu betul secara konteks dengan berfokus pada apa yang nampak di luar, tetapi apakah hal tersebut menjamin bahwa yang tampak didalamnya akan baik juga? Apa yang tampak didalam itu? Yaitu hati!

Sebagai bentuk sebuah keresahan aku ingin membaginya disini. Sebetulnya sadar tidak sadar kejadian tersebut menjadi paradox bagi teks-teks keagamaan yang justru menjelaskan sebaliknya. Baiklah, mungkin kita bisa kategorikan saja bahwa saudara-saudara kita tersebut masih dalam tahap pembelajaran dan belum sampai pada bab yang akan kita bahasa bersama-sama kali ini.

Kita sudah pernah sepakat mengenai terbaginya manusia menjadi 2 bagian yaitu bagian fisik dan metafisik (tubuh dan roh). Jika dalam pembahasan hikam pada dua bagian sebelmunya ini kita membicarakan sesuatu mengenai instrument masing-masing untuk dapat mengamati dan merasakan sesuatu, tetapi pada hikam kali ini kita akan membahas mengenai korelasi atau hubungan antara dua bagian tubuh tersebut. Apakah saling bergantung satu sama salin, atau berdiri secara independen atas bagiannya masing-masing?

Tentu kita sangat familiar dengan penggalan lirik lagu dari Opick "jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati cahaya Ilahi". Mengapa yang dianjurkan oleh Opick agar kita untuk senantiasa menjaga hati dari kekotoran? Mengapa tidak agar kita menjaga perilaku kita? Atau bahkan menjaga lisan kita? Jawabannya adalah karena hati adalah raja yang merajai seluruh tubuh kita beserta anggotanya.

Merujuk pada sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

"أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ"

"Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuhnya.ingatlah ia adalah hati"

Ketahuilah bahwa hati yang menggerakan tubuh, jika hatinya kotor maka sebagai cerminannya tubuh pun akan ikut kotor. Yang dilakukan adalah semacam ini, bukan dengan sebaliknya.

Tingkatan amal perbuatan seseorang tergantung tingkatan kualitas spirtualitasnya. Tentu kita setuju bahwa kualitas spiritualitas kita masing-masing berbeda, karena sumber yang kita sepakati yang bernama hati ini akan selalu condong kesana atau kemari. Itu sebabnya dalam bahasa arab hati ini bernama qalb diambil dari kata qalaba yang berarti terbalik, yang darinya dimaknai bahwa hati sangat mudah untuk terbolak-balik.

Kadangkala jika hati kita sedang baik maka kondisi spitual pun ikut membaik, dan jika tidak maka sebaliknya. Yang kemudian kondisi inilah yang dinamakan ahwal oleh para kalangan praktisi tasawuf.

Ahwal ini tidak bersifat diam, melainkan bersifat temporer yaitu berubah-ubah. Hal tersebut dapat terjadi sebab kondisi hati kita yang masih sangat mudah terombang-ambing. Maka dari keadaan yang tidak menentu ini menyebabkan terdapat jenis kualitas amal perbuatan sesuai dengan bagaimana kondisi ahwal seseorang.

Seperti contoh ketika kita dalam mencintai seseorang dalam konteks rumah tangga. Dalam hal kita mencintai pastilah yang berperan memberikan rasa cinta tersebut adalah hati. Hati ini terkadang dapat berubah dan goyah ketika berhadapan dengan sesuatu yang kadangkala sering menjadikan kita lupa diri.

Dari hati yang goyah ini maka akan berdampak pada bagaimana kita men-treat pasangan kita. Yang awalnya sering memberikan kabar saat berada di luar rumah tiba-tiba menjadi hening dan sering menghilang. Begitulah manusia. Cerminan atas apa yang dia perbuat adalah cerminan bagaimana keadaan hatinya.

Kembali pada konteks tasawuf. Para sufi memberi nama dari pembagian ahwal yang berbeda-beda ini sesuai dengan tingkatannya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ajibah bahwa seseorang yang masih selalu bergantung pada yang dzahir seperti pekerjaan, amal perbuatan dikategorikan sebagai 'abid atau hamba.

Kelompok tersebut menjadi kelompok mayoritas manusia, maka diawal hikam ini Ibnu athaillah mencoba mengajak kita untuk naik kepada tingkatan ahwal yang lebih satu level diatasnya dengan tidak menggantungkan segala sesuatu terhadap amal perbuatan atas hasil akhir yang sedang kita tuju.

Satu level diatasnya dinamakan sebagai wara' yaitu saat kita sebagai manusia ada kecondongan untuk dapat meninggalkan ketergantungan kita atas amal perbuatan ini. Bagaimana dengan jumlahnya? Masih terhitung sedikit karena pada kenyataannya untuk bagaimana kita meninggalkan ketergantungan ini sangatlah sulit.

Mengapa terjadi demikian? karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu terhubung oleh hukum realitas yaitu sebab akibat. Dimana selalu dipatrikan bahwa jika kamu berusaha maka kamu akan berhasil. Padahal pada faktanya semua tidak selalu berjalan sesuai dengan kata-kata tersebut (saya pikir ulasan mendalam mengenai ini sudah ada dibagian sebelumnya).

Naik pada tingkatan selanjutnya yaitu dimana sikapnya bukan berupa sebuah kecondongan lagi, tetapi sudah benar-benar meninggalkan ketergantungan tersebut. Maka dampak pada kondisi ini adalah dimana tidak ada lagi perbuatan manusianya, perbuatannya sudah melebur dengan kehendak Tuhan. Dengan kata lain keadannya hanya bergantung pada Tuhan dengan tidak membawa sedikit pun sifat duniawinya. Pada tahap ini sering ditandai dengan menjauhnya seseorang terhadap dunia, karena baginya dunia adalah suatu kemewahan. Kondisi ini dinamakan dengan zuhud, yang mana pada kelompok ini jumlahnya masih benar-benar sangat sedikit.

Kemudian kita sampai pada puncak kondisi dari ahwal yaitu 'arif. Para 'arif sangat sungguh bisa terhitung jumlahnya karena saking langkanya mereka. Pengalaman spiritual yang mereka alami benar benar sudah mencapai puncaknya. Dimana mereka merasakan hidup mereka hanya benar-benar untuk Tuhan semata. Seakan nafsu sudah tidak nampak, karena nafsu akan hal-hal yang bersifat duniawi sudah lebur dan menghilang pada tingkatan sebelumnya.

Dari cerminan atas kondisi tersebut mereka akan selalu kita dapati dengan keadaan yang selalu tersenyum, periang, seakan-akan yang tersisa hanyalah kemurahan dan kelembutan darinya. Sampai pada suatu kasus ketika mereka berhadapan dengan perilaku yang jika dalam ilmu fiqh sudah dihukumi kafir, dengan menakjubkannya, mereka sama sekali tidak murka terhadap pelakunya karena mereka melihat dengan pandangan penuh rahmat.

Dalam suatu pertemuan majelis dengan salah satu guru kami ada pelajaran indah dari tuturkata yang penuh rahmat dan kasih sayang darinya. Salah satu dari yang hadir ada yang bertanya mengenai posisi Ibnu Sina di akhirat. Sedikit info tambahan bahwa Ibnu Sina ini adalah salah satu ulama yang sudah dianggap kafir oleh Al-Ghazali secara akidah.

Kafir ini sudah bukan kafir secara fiqh lagi, tetapi secara akidah. Bisa kita bayangkan! Kemudian guru kami menjawab dengan menceritakan sebuah pertemuan dengan seorang fulan yang menuturkan sebuah cerita yang disampaikan dari fulan sampai fulan yang mengalami sebuah mimpi.

Mimpi tersebut menceritakan tentang peristiwa yang sedang berlangsung di majelis tersebut. Jawaban dari pertanyaannya kemudian dijawab oleh seseorang yang ada di dalam mimpinya dengan berkata "Ibnu Sina adalah seorang yang sangat soleh, dia ingin berjalan menuju Tuhan tetapi tanpa Rasulullah, yang kemudian menyabkannya jatuh kedalam api neraka"

Guru kami berkomentar dengan mengoreksi bahwa mungkin terjadi kecacatan sanad dalam penyampaian cerita tersebut dengan berkata "Aku yakin bahwa seorang soleh seperti Ibnu Sina tidak mungkin masuk ke neraka. Aku berhusnudzan kepada Imam besar seperti beliau"

Bagaimana tidak? Ibnu Sina ini sangat banyak memberikan sumbangsih terhadap dunia kedokteran modern saat ini. Bukunya yang berjudul qanun fii al-tibb yang menjadi rujukan dunia medis barat pasti sudah banyak menolong banyak manusia di dunia ini. Maka akupun berhusnudzan bahwa beliau tidak mungkin masuk kedalam neraka.

Sikap seperti ini bisa kita terapkan pada kehidupan sehari-hari. Terhadap kabar yang masih belum pasti, terhadap situasi yang selalu membuat kita mudah menghakimi orang lain, ataupun terhadap keadaan sulitmu saat ini.

Berhusnudzan terhadap keadaan sekitar kita, berhusnudzan terhadap Tuhan. Husnudzan adalah langkah paling utama sebelum melakukan apapun ketika kita mendapati sebuah kejadian maupun kabar dari manapun dan siapapun. Menjadi paling minimalnya kita dalam bersikap.

Karena berbaik sangka terhadap apapun menjadi salah satu tanda hati kita masih diberikan pancaran cahaya dari Tuhan. Dampak dari cahaya Tuhan atas kita inilah menjadi sebuah sikap yang kita namai sebagai husnudzan.

Sedangkan sifat yang bertolak belakang darinya yang menyebabkan kerusakan jiwa dan kotornya hati yaitu suudzan. Suudzan terhadap sesama manusia terlebih jika suudzan terhadap Tuhan. Hanya malapetaka yang akan menanti!  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun