Mohon tunggu...
Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan fakultas ushuluddin jurusan akidah dan filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ekstrovert dan Introvert, Manakah yang Lebih Baik?

13 Maret 2024   20:15 Diperbarui: 13 Maret 2024   20:19 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://intisari.grid.id/read/033235313/jelaskan-sejarah-awal-mula-masuknya-islam-di-nusantara-yuk-simak?page=all

"إرادَتُكَ التَّجْريدَ مَعَ إقامَةِ اللهِ إيّاكَ في الأسْبابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفيَّةِ، وإرادَتُكَ الأَسْبابَ مَعَ إقامَةِ اللهِ إيّاكَ فِي التَّجْريدِ انْحِطاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلِيَّةِ"

"Kehendakmu untuk tajrid (mengisolasi diri, tidak melakukan usaha) sementara Tuhan menempatkanmu pada maqam asbab (seorang yang harus berusaha) itu adalah bentuk syahwat atau nafsu yang tersembunyi. Sebaliknya, kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha (asbab) padahal Tuhan memberimu maqam sebagai orang yang seharusnya tidak melakukan usaha (tajrid) itu adalah bentuk kemerosotan kelas."

Penjelasan kutipan ini akan agak panjang karena mengingat topik yang diangkat adalah permasalahan tasawuf (ilmu mistis islam) yang cukup pelik, karena banyak membahas mengenai maqam yang dimana disana dijelaskan lebih detail lagi oleh Ibnu Ajibah mengenai perbedaan antara dua maqam tersebut, mengapa disebut tajrid dan asbab, dan mengapa kita tidak boleh berpindah maqam dari tajrid ke asbab dan begitupun sebaliknya. Tapi setidaknya mari kita ulas bersama-sama dengan menggunakan pendekatan konteks kekinian.

Sebenarnya kita itu pernah ga sih berpikir bahwa untuk tujuan apa kita diciptakan? Kadang ketika kita di posisi yang lebih banyak berdiam diri di rumah suka iri dengan orang yang sehari-hari sibuk bekerja ataupun sebaliknya. Timbul rasa iri adalah bentuk sifat yang sangat manusiawi, tetapi akan menjadi berbeda jika dengan keadaan "iri" tersebut kemudian naik ke level selanjutnya yaitu menegasikan rasa syukur pada tempat atau posisi kita saat ini, entah dalam keadaan lebih banyak berdiam di rumah atau lebih banyak bekerja dan bersosialisasi diluar.

Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang dalam penggalannya berbunyi

"كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ"

"Setiap orang dimudahkan kepada yang dicipta baginya"

Kanjeng Rasul berusaha menjelaskan kepada kita bahwa setiap manusia itu diciptakan sesuai porsinya masing-masing. Maksudnya bagaimana? Bahwa setiap dari diri kita manakala kita ternyata menjadi manusia yang lebih cenderung banyak bekerja dan bersosialisasi diluar maka itu adalah tujuan kita diciptakan, jangan coba-coba kita memilih jalan lain untuk berubah menjadi manusia yang lebih cenderung banyak berdiam di rumah dengan melakukan kontemplasi.

Dan sebaliknya pula manakala kita ternyata menjadi manusia yang lebih cenderung banyak berdiam di rumah atau mengisolasi diri jangan pernah coba-coba untuk berubah menjadi manusia yang lebih cenderung banyak bekerja dan bersosialisasi diluar. Ini yang ingin coba disampaikan oleh Ibnu Athaillah!

Setidaknya ke dua macam tipe inilah Ibnu Athaillah membagi tingkatan kondisi manusia. Kita bisa melihat 2 tipe ini dalam konteks kekinian yaitu dengan menganalogikan kepada manusia "ekstrovert" dan manusia "introvert".

Ekstrovert ini bisa kita kategorikan sebagai maqam asbab sedangkan introvert bisa kita kategorikan sebagai maqam tajrid. Ini jika kita sesuaikan dengan pengertian umum, tapi mungkin bisa jadi pada kenyataannya sangat jauh berbeda ketika disandingkan dengan definisi sebenarnya dari introvert dan ekstrovert dari sisi ilmu psikologi. Tapi setidaknya pendekatan inilah yang bisa kita sederhanakan kepada teman-teman sekalian.

Yang sering luput dari diri kita adalah terlalu mudahnya menghakimi seseorang yang kondisi kemanusiaannya berbanding terbalik dengan kita. Penghakiman adalah masalah terbesar. Kadang kita justru lebih merasa berhak menghakimi dibanding sang Hakim sejati, merasa lebih Tuhan dibanding Tuhan itu sendiri. Apapun itu, ketika kita dalam kondisi introvert atau ekstrovert jangan sampai kita coba-coba mengintervensi dan menghakimi orang yang dalam kondisi sebaliknya.

Karena hakikat dari pengetahuan diri seseorang adalah diri dia sendiri. Maka kenalilah dirimu sebagaimana kamu diciptakan! Dan jangan sampai kau lari dari tugas penciptaanmu!

Manusia ekstrovert jika dia lari dari tugasnya dan menjadi manusia introvert maka itu adalah sebuah bentuk kemalasan, sedangkan manusia introvert jika dia lari dari tugasnya dan menjadi manusia ekstrovert maka itu adalah sebuah bentuk dari kemerosotan kelas.

Kuncinya kita hanya perlu menerima dan mensyukuri atas keadaan dan posisi yang kita peroleh maka setelah itu akan muncul rasa bahagia, bahagia dengan hakikat diri kita masing-masing. Do what you love and love what you do! Cause you are to be happy when you become who you are.

Sebelum penutup aku ingin menceritakan kisah yang agaknya bersifat spiritual mistis, tentang seorang yang sehari-harinya sibuk dengan mengajarkan ilmu-ilmu dzahir. Kemudian disaat dia baru sedikit mencicipi ilmu batin lantas membuat dia ingin meninggalkan pekerjaan mengajar ilmu-ilmu dzahirnya.

Ketika dalam kondisi tersebut gurunya yaitu Syekh Abu Abbas Al-Mursi mengatakan bahwa jangan sekali-kali melakukan hal tersebut, karena suatu saat nanti pada hakikatnya kau akan mencapai sebuah nikmat maqam tajrid pada maqam asbabmu. Dengan kata lain kamu niscaya akan mendapatkan sebuah nikmat introvert walaupun kamu dalam kondisi sebagai seorang yang ekstrovert.

Sebagai penutup Imam Ibnu Ajibah ingin mencoba sedikit menyimpulkan dengan mengatakan "Ber-tajrid dengan tanpa pengetahuan (egois) maka kamu sebenarnya pada kondisi asbab, sedangkan jika kamu ber-asbab dengan tanpa pengetahuan (egois) maka sebenarnya kamu pada kondisi tajrid." Perkataan tersebut ingin coba menjelaskan bahwa kata "kemerosotan kelas" itu tidak bermakna secara hakiki, tetapi majazi. Dua maqam tersebut berada di level yang sama (hakiki) tetapi berada di kondisi yang berbeda (majazi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun