" مِن عَلاَمَةِ الإِعتِمَاد فِى الأَعمَال نُقصَانُ الرَّجَاء عِندَ وُجُودِ الزَلَل"
"Tanda seseorang mengandalkan pekerjaannya adalah berkurangnya pengharapan ketika ia mengalami kegagalan."
Dalam penjelasan pada kutipan ini, banyak ulama yang memberikan tambahan hadits riwayat bukhari yang berbunyi
" لَن يَدخُلَ الجَنَّةَ أَحَدُكُم عَمَلَهُ، قَالُوا: وَلَا أَنتَ يَا رَسُولُ الله؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَن يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحمَتِهِ "
"Tidaklah seorang pun dari kalian yang masuk surga disebabkan amalnya,
Sahabat bertanya: 'termasuk engkau wahai rasulullah? '
Rasululullah menjawab: 'iya termasuk aku, melainkan atas rahmat dari Allah"
Dalam beragama kita tidak dianjurkan untuk terlalu menyandarkan kepada segala bentuk usaha untuk mendapatkan sebuah hasil. Karena boleh jadi ketika hasil tersebut tidak didapat karena disebabkan terlalu percaya dirinya kita sehingga lupa menyerahkannya kepada Tuhan.
Seperti menggapai surga misalnya. Sebagai umat muslim aku yakin surga adalah impian, tetapi yang sering disalahpahami adalah untuk mendapatkan surga ini kita harus shalat, puasa, berzakat dan melakukan ibadah lain yang bersifat nonindividual. Artinya kita melakukan semua ibadah tersebut hanya untuk mendapatkan surga bukan selain itu.
Kita lihat bersama-sama bahwa kanjeng Rasul menasihati bahwa sekali-kali kita tidak akan masuk kedalam surga dengan amal-amal kita. Lantas dengan apa? Rasul menjawab dengan rahmat Tuhan!
Amal ibadah hanya sebatas dapat kita lakukan sebagai wasilah untuk mendapatkan rahmat Tuhan, karena jika Tuhan sudah memberikan rahmat-Nya, surga sudah menjadi jaminan atas itu. Surga hanya bonus dari rahmat Tuhan.
Maka dari itu akan berbeda jika kita niatkan semua amal ibadah yang kita perbuat untuk masuk ke surga. Karena dengan menyandarkan pada amal tersebut untuk masuk surga boleh jadi Tuhan murka dan malah memasukan kita kedalam neraka-Nya (naudzubillah) akibat dari kesombongan kita, riya kita, dan merasa sucinya kita untuk bisa dengan mudah masuk surga atas segala amal ibadah kita.
Kita kontekskan dengan keseharian hidup kita, bisa dicontohkan dalam hal ambisi dalam meraih suatu pencapaian.Terkadang kita sebagai seorang manusia selalu menjadikan proses atau pekerjaan kita dalam menuntaskan ambisi sebagai tujuan utama seperti ingin meraih intensitan publik dengan kecantikan kita atau kepintaran kita.
Yang nyatanya itu semua hanya ilusi semata, karena pada faktanya justru orang-orang yang terlalu menghamba kepada pekerjaan demi ambisinya akan cenderung mudah putus asa dan frustasi ketika dihadapkan pada sebuah kegagalan.
Menunjukan eksistensi kita kepada khalayak adalah suatu tujuan yang baik selama kita tidak berharap lebih dari hanya sebatas sebagai perantara pesan dari sang khaliq agar dapat bermanfaat bagi sesama, seperti menginspirasi tanpa harus mengharap pujian dan empati. Karena sejatinya penilaian yang ingin kita dapatkan adalah dari sang pencipta bukan dari makhluk.
Bersama-sama kita harus sepakat dan menyetujui bahwa keikutsertaan Allah dalam segala hasil atas usaha kita adalah suatu keniscayaan. Maka dari itu jangan terlalu mengandalkan usaha kita tanpa menyerahkannya kepada Allah.
Libatkanlah Allah dalam setiap usahamu, maka dikala hasilnya seperti apapun kamu akan selalu bersyukur tanpa harus merasa putus asa atau terendahkan. Karena boleh jadi kegagalan bagimu terhadap sesuatu adalah kebaikan menurut Allah, atau kebaikan bagimu ternyata adalah suatu kegagalan menurut Allah.
Sebagai pengingat buat kita semua juga bahwa berharap atas sesuatu tanpa melibatkan Allah itu adalah sebuah pengharapan yang sia-sia. Kita hanya akan terus merasa kurang dan tidak puas akan semuanya, tujuan yang tidak akan pernah menemukan sebuah akhir. Lantas untuk apa kita bersusah payah mengejar ambisi dunia sedangkan ada akhirat yang sudah yang pasti menunggu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H