kita tak akan pernah bertemu:
aku dalam dirimu
tiadakah pilihan
kecuali di situ?
kau terpencil dalam diriku
Dalam gegap gempita kepiawaian SDD menarasikan ritmik ketabahan dalam HBJ, saya menilai ada yang masih kurang greget. Persis di bagian sesuatu yang akan mempertegas ketabahan cinta Sarwono-Pingkan. Bahwa konflik yang coba disemai SDD dalam novel ini, hemat saya, kurang maksimal. Perbedaan asal, agama, dan latar keluarga dikemukanan SDD tapi dalam konteks canda antara Sarwono-Pingkan. Ketika dua insan sedang jatuh cinta, ejek-ejekan adalah bumbu yang dapat membuat detak cinta di hati semakin berdentum. Tetapi ketika ia mau diletakan sebagai konflik untuk konteks penulisan sebuah kisah, ia malah sangat lemah.
Maka justru di sinilah saya menilai bahwa SDD kurang berhasil menggarap gaung ketabahan yang digadang-gadang sebagai bingkai besar puisi HBJ-nya. Sebab bercermin dari konteks Indonesia sebagai tempat fisik SDD menulis “Hujan Bulan Juni” adalah sebuah paradoks yang sungguh di luar jangkauan nalar normal; kalau bukan sebagai diksi atau sebuah paradoks. Apalagi oleh beberapa penelaah puisi HBJ, menyebutnya sebagai paradoks ekstrim, seekstrim puisi singkat Sitor Situmorang “Malam lebaran” (Malam Lebaran//Bulan di atas kuburan).
Steve Elu
Sumber: http://www.kupasbuku.com/buku/rintik-mekar-ketabahan-sapardi-djoko-damono#sthash.R8deXZsW.dpuf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H