Terdapat kasus-kasus di mana guru besar terbukti melakukan plagiarisme dan menjoki dalam pembuatan karya ilmiah. Hal ini tidak hanya menunjukkan ketidakjujuran dan pelanggaran kode etik, tetapi juga mencerminkan kurangnya kompetensi pelaku plagiarisme. Kasus-kasus ini semakin marak dan sangat disayangkan. Fenomena ini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap kualitas dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Haryono, menyatakan bahwa Indonesia pada tahun 2024 berada di posisi ke-19 di dunia dalam hal jumlah publikasi ilmiah. Namun, jika guru besar di Indonesia saja banyak yang membuat karya ilmiah dengan cara curang, bagaimana dengan praktisi akademis lainnya?Â
Pertanyaan tidak bermaksud untuk merendahkan usaha para praktisi akademis yang telah menerbitkan karya ilmiah berkualitas, tetapi nama baik dan kepercayaan akademis yang tulus tercemar oleh tindakan segelintir guru besar yang tidak bertanggung jawab ini.
Kurangnya kompetensi para guru besar yang melakukan plagiarisme tentu berdampak pada kualitas institusi tempat mereka berada serta kualitas pendidikan tinggi di Indonesia secara keseluruhan. Kualitas institusi dan pendidikan di suatu negara dapat diamati dari kualitas karya ilmiah yang dihasilkan.Â
Para guru besar ini cacat baik dari segi kompetensi akademik maupun etika akademik. Mereka tidak dapat membuktikan kompetensi dalam bidang yang seharusnya mereka kuasai, dan mereka melanggar etika akademik dengan tindakan plagiarisme, perjokian, dan lain-lain.
Contoh kasus yang dapat ditemukan di internet adalah guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung berinisial BS yang diduga melakukan plagiat karya ilmiah. Tim verifikasi berhasil membuktikan pelanggaran kode etik dosen oleh guru besar tersebut. Mengutip dari detik.com, Hasriadi Mat Akin selaku Pembantu Rektor I Unila mengatakan BS sudah dipecat sebagai dosen dan tidak diperbolehkan untuk mengajar lagi.Â
Untuk kasus joki, guru besar yang melakukannya juga ada. Mengutip dari kompas.id, modus perjokian dilakukan dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal berkelas internasional. Tim menyematkan nama dosen-dosen senior yang ingin menjadi guru besar atau naik pangkat sebagai daftar penulis di karya ilmiah tersebut. Meskipun dosen-dosen senior tersebut tidak memiliki kontribusi aktif dalam perbuatan karya ilmiah yang akan diterbitkan di jurnal berkelas internasional. Hal ini dilakukan untuk mendongkrak akreditasi kampus dan pengumpulan kredit bagi dosen-dosen ini.Â
Indonesia telah merdeka selama 79 tahun, tetapi kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih menyedihkan. Meskipun Indonesia merupakan negara dengan kuantitas universitas kedua terbanyak di dunia, kualitasnya sangat jomplang dibandingkan kuantitasnya. Data terakhir dari QS World Ranking pada tahun 2018 menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-39 dalam daftar kualitas pendidikan tinggi berbagai negara di dunia.
Fenomena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia dapat dianalogikan seperti pembangunan istana yang dibangun oleh batu bata berkualitas dan pasir. Batu bata berkualitas mewakili para praktisi akademi yang benar-benar menaati kode etik dan berkontribusi baik pada kualitas istana, perwakilan institusi pendidikan tinggi di istana.Â
Sedangkan pasir melambangkan para "praktisi" akademis yang melakukan pelanggaran kode etik akademis, menjadi penyebab penurunan kualitas istana.Â
Kasus-kasus ini merupakan suatu titik lemah, pasir di istana kita, yang menggambarkan dunia pendidikan tinggi Indonesia saat ini. Menjelang perayaan kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia, sudah saatnya dalam semangat kemerdekaan pasir-pasir ini diganti dengan batu bata yang berkualitas.Â