Aku terus berlari, sesekali tersandung akar dan ranting, tetapi aku tidak peduli. Yang kupikirkan hanya untuk bertahan hidup dan menjauh dari hantu kepala terbalik itu. Akhirnya, aku melihat cahaya di kejauhan, pertanda bahwa aku sudah dekat dengan ujung hutan. Dengan langkah terengah-engah, aku mempercepat lariku dan akhirnya keluar dari hutan, menemukan diriku di jalanan desa yang aman.
Aku berhenti untuk mengambil napas, dengan lutut gemetar dan keringat membasahi seluruh tubuhku. Aku menoleh ke belakang, ke arah hutan yang gelap dan menakutkan itu, dan bersumpah untuk tidak pernah memasuki tempat itu lagi, terutama pada malam hari. Sejak malam mengerikan itu, aku selalu terbayang-bayang oleh wajah hantu kepala terbalik yang mengerikan. Matanya yang melotot dan mulutnya yang menganga lebar seolah-olah siap menerkam kapan saja. Aku tidak pernah benar-benar bisa melupakan pengalaman traumatis itu. Dan sampai hari ini, jika aku mendengar suara lengkingan burung hantu di malam hari, bulu kudukku selalu meremang, dan aku kembali dibayangi oleh sosok mengerikan "Hantu Kepala Terbalik" yang berkeliaran di hutan pinus tua itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H