Mohon tunggu...
Kapten Jack Sparrow
Kapten Jack Sparrow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Instagram: stvnchaniago, Email: kecengsc@gmail.com, Youtube: FK Anime,

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

"Duck Syndrome", Terkadang Kita Perlu Bercerita dan Menyesuaikan Ekspektasi

18 Januari 2021   09:33 Diperbarui: 18 Januari 2021   19:42 2977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret orang dengan Duck Syndrome | Sumber: Shutterstock via levitraporto.com

Pernahkah teman-teman punya sahabat yang terlihat tenang dan santai, namun tiba-tiba orang tersebut mentalnya drop atau nyatanya sahabat tersebut justru sedang stress atau depresi? Bila pernah, bisa jadi orang tersebut sedang mengalami "Duck Syndrome". 

Apa itu duck syndrome? Menurut Stanford University selaku pencetus frasa ini, duck syndromeadalah istilah yang menggambarkan perilaku seseorang yang tetap tenang dan terlihat baik-baik saja, meski sebenarnya ia sedang menghadapi banyak persoalan atau tekanan. 

Hal tersebut sama seperti bebek yang terlihat berjalan dengan tenang di air, namun nyatanya kaki-kakinya sedang berusaha keras di bawah air untuk bergerak.

Gejala duck syndrome sendiri sering ditemui pada murid SMP, SMA, mahasiswa universitas, hingga orang-orang yang baru saja memasuki dunia kerja atau yang baru membangun bisnisnya sendiri.

Pemilik channel Youtube Korea Reomit yakni Jang Hansol merupakan salah satu Youtuber atau selebriti yang menurut saya terkena duck syndrome. Hansol selama ini dikenal sebagai pribadi yang ceria, semangat, dan selalu terlihat antusias dalam vlog yang dibagikan ke akun Youtube miliknya.

Namun siapa sangka, pada 12 Juni 2020 yang lalu ia membuat video curhat, yang mengindikasikan bahwa mentalnya sedang down dikarenakan tuntutan pekerjaan yang berat sebagai Youtuber/Content Creator. Hal itu pun sempat membuatnya vakum membuat video beberapa saat.

Untungnya, Hansol segera mencari bantuan medis ke psikolog. Setelah konsultasi tersebut, ia kini dapat melanjutkan aktivitas vlognya seperti biasa, meski masih tetap mengkonsumsi obat-obatan. Dari kasus Hansol, kita tahu seberapa mengganggunya duck syndrome ini bila tidak ditangani secara benar.

Meski cenderung ditemui pada remaja, namun duck syndrome pun tak menutup kemungkinan terjadi pada orang dewasa mau pun lansia. Secara umum, ada 3 gejala yang menunjukan tanda-tanda kamu sedang mengalami duck syndrome, antara lain:

1. Kesulitan Konsentrasi
Biasanya, orang yang terkena duck syndrome akan cenderung sulit berkonsentrasi. Hal itu sebab mereka seringkali merasa terbebani dengan ekspektasi dan target yang harus mereka capai, padahal kemampuan atau ilmu mereka belum cukup mumpuni untuk mencapai target tersebut.

Nah, banyak orang yang mengakali kesulitan konsentrasi ini dengan cara yang bervariasi. Di luar negeri, narkotika, alkohol, dan rokok adalah beberapa "pelarian" yang lazim. 

Sementara di Indonesia, alkohol dan rokok pun dijadikan solusi bagi beberapa orang, namun kebanyakan dapat berkonsentrasi setelah menenggak segelas kopi saja.

2. Stres/Depresi

Bila rokok, kopi, atau alkohol yang dianggap sebagai solusi nyatanya gagal membuat penderita sindrom bebek berkonsentrasi, maka tak jarang kita temui beberapa dari mereka ujung-ujungnya mengalami stres/depresi berat, sebab mereka seakan sudah kehilangan solusi (harapan), sementara ada goals yang harus mereka capai.

Saya pribadi juga beberapa berada di state depresi akan suatu masalah, meski seringkali saya terlihat baik-baik saja dan tegar di depan teman-teman. Namun untungnya saya memiliki seorang pacar yang pengertian dan perhatian, yang bisa mengerti keadaan saya aslinya dan menjadi teman cerita yang baik.

Ya, kehadiran seseorang yang kita cinta di samping kita menurut saya adalah salah satu cara meringankan stres/depresi yang kita hadapi.

3. Kesulitan Tidur
Efek domino dari sulitnya konsentrasi serta stres dan depresi, akhirnya berujung pada penderita Duck Syndrome mengalami kesulitan tidur alias insomnia, yang bila dibiarkan akan berpotensi menjadi kebiasaan yang mengganggu di masa depan.

Umumnya, penderita duck syndrome akan sulit tertidur apalagi tertidur pulas, akibat adanya tekanan untuk menggapai goals-nya, yang akan membuat otak dari si penderita bekerja terus-terusan mencari solusi, sehingga mengakibatkan timbulnya Insomnia.

Lalu, bagaimana cara mengatasi Duck Syndrome?

1. Cari Teman Bercerita/Teman Curhat
Bila ada teman-teman yang merasa memiliki duck syndrome, cobalah untuk mencari sahabat untuk diajak curhat. Namun perlu dicatat, pastikan untuk mencari teman curhat yang tepat, agar nantinya informasi yang kita share tidak dimanfaatkan untuk menjatuhkan kita kedepannya.

Curhat sendiri punya beberapa kelebihan di antaranya adalah memberikan efek kelegaan pada jiwa. Ya, bercerita secara umum memang diketahui dapat membuat sedikit beban kita terasa terangkat.

Curhat pun dapat juga berfungsi sebagai salah satu usaha untuk mencari solusi dari persoalan yang kita hadapi. Siapa yang tahu ya kan, teman curhat kita malah pernah melewati kondisi serupa, dan bisa memberikan tips dan trik yang membantu.

Curhat juga tak melulu melalui verbal. Sebagai Kompasianer, saya beberapa kali juga curhat dalam bentuk artikel, dan tak jarang mendapat pencerahan dari komentar Kompasianer lain di kolom komentar. Curhatan kita pun kini juga dapat terakomodir dengan baik di Kompasiana dengan hadirnya kategori "Diary".

2. Meminta Bantuan Ahli
Apabila persoalan kita dirasa kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan curhatan semata, langkah selanjutnya yang bisa ditempuh adalah mencari bantuan kepada ahli dari persoalan yang membuat kita merasa tertekan tersebut.

Alih-alih mencoba mengatasi sendiri masalah yang dihadapi, carilah seseorang yang bisa membantu. Seperti kesulitan beradaptasi dengan banyaknya pekerjaan di tempat kerja, cobalah untuk meminta tips dari senior bagaimana caranya untuk me-manage pekerjaan yang banyak tersebut secara efektif dan efisien.

Hal yang sama pun berlaku di bidang lain, seperti dalam proses mengerjakan skripsi misalnya. Apabila memang kesulitan mengerjakannya sendirian, sering-seringlah berkonsultasi dengan dosen pembimbing ketimbang memaksa menyelesaikannya sendiri, yang malah bisa jadi membuang waktumu.

Kuncinya adalah menghilangkan gengsi dan membuang jauh-jauh ego dalam diri kita yang menganggap bahwa kita mampu melakukan segalanya sendirian. Mencoba semaksimal mungkin memang adalah tekad yang bagus, namun mencari pertolongan di kala sudah mentok adalah pilihan yang bijaksana.

3. Sesuaikan Ekspektasi dengan Kemampuan
Langkah alternatif yang bisa teman-teman tempuh guna menghindari diri terjangkit sindrom bebek adalah dengan menyesuaikan ekspektasi atau target yang kita buat dengan kemampuan dan pengetahuan yang kita miliki.

Simpelnya, kita belajar menjadi pribadi yang ambisius namun juga realistis. Artinya, jangan sampai kita membuat target yang kita sendiri tidak yakin diri kita sendiri dapat menggapainya, dan ujung-ujungnya hanya menjadi beban pikiran ketika target tersebut tidak tercapai.

Apabila teman-teman memang kekeh untuk memasang ekspektasi yang tinggi, karena mungkin memang sudah terbiasa dengan hal tersebut, maka cobalah untuk meng-improve diri kita sehingga ekspektasi tinggi tersebut tak hanya menjadi angan-angan semata yang sulit terwujudkan.

Misalkan, coba pelajari teknik time management, multi-tasking, serta beberapa soft-skill lainnya yang nantinya akan menunjang performa kita dalam menggapai target atau ekspektasi yang sudah kita set di awal.

4. Pengobatan Secara Medis
Apabila ketiga cara di atas tidak berhasil juga atau mungkin teman-teman merasa mengalami duck syndrome yang cukup serius, maka cara terakhir adalah mencari pertolongan secara medis, seperti yang dilakukan Jang Hansol.

Ya, ada beberapa psikiater atau psikolog yang dapat membantu teman-teman mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Apabila diperlukan, biasanya proses penyembuhan akan didampingi dengan bantuan dari obat-obatan. 

Tidak perlu malu pergi ke psikolog/psikiatri, sebagai masyarakat yang maju, memang sudah sewajarnya kita aware dengan persoalan mental health (duck syndrome) dan memanfaatkan peran tenaga ahli tersebut dengan maksimal.
***
Itulah beberapa latar belakang, gejala, serta cara mengatasi sindrom bebek alias duck syndrome. Semoga dapat bermanfaat dan membantu teman-teman sekalian.

Baca Juga: "Crab Mentality, Peringatan Untuk Orang-orang Individualis"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun