Mohon tunggu...
Ahmad afif
Ahmad afif Mohon Tunggu... Dosen - Afif

fleksibel adalah kunci kesuksesan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pertanyaan "Remeh" untuk Otorita IKN

13 Agustus 2024   04:19 Diperbarui: 13 Agustus 2024   04:40 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang menjadi pertanyaan "remeh" saya adalah; mengapa pengerjaan Kawasan IKN tidak dikerjakan secara paralel, namun masih fokus pada wilayah 1 yaitu (KIKN), sedangkan Kawasan 2 dan 3 yaitu; Kawasan Pengembangan lbu Kota Nusantara (KPIKN) dan Perairan Pesisir IKN belum dimaksimalkan pengerjaannya?. Padahal seluruh kawasan berpotensi membawa iklim pembangunan yang lebih efektif dan efisien.

Sebuah petuah singkat dari Bapak Sarwo, Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (25/11//2023) layak menjadi reminder sekaligus warning terhadap otorita Ibu Kota Negara (IKN), berikut bunyinya:

"Pada saatnya nanti Ibu Kota Negara yang semula berada di Provinsi DKI Jakarta akan berpindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Bapak Presiden telah memberikan pernyataan bahwa Upacara Kemerdekaan 17 Agustus pada tahun 2024 akan dilaksanakan di IKN.

Oleh karena itu, ketahanan pangan menjadi aspek yang penting dan Badan Pangan Nasional siap mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang optimal".

Sah!. Pernyataan dari Pak Sarwo merupakan hal yang tendensius mengingat IKN masih masa penggarapan tahap 1 yaitu; sektor Kawasan Ibu Kota Nusantara (KIKN). Merupakan kawasan perkotaan inti dari KSN IKN. Bagi orang elit, jelaslah ringan apabila mengalokasikan stok pangan berupa sembilan bahan pokok serta beberapa pangan holtikultura lainnya dari luar pulau Kalimantan. Persoalannya ada pada keseimbangan kecukupan rantai pasok wilayah lainnya yang juga butuh suplai pangan yang sama serta harga.

Demi mendukung gerakan mandiri pangan nasional, beberapa tulisan saya yang pernah berhasil publikasi di beberapa media termasuk menjadi kampiun pada even "Hari Santri Nasional 2021 oleh PKB" turut memberikan masukan terkait model dan akulturasi budaya konsumsi masyarakat terhadap perwujudan swasembada pangan nasional. Salah satunya melalui model sirkulasi bisnis episentrum komunitas Pondok Pesantren. 

Lembaga ini sangat ideal menjadi role model dalam perwujudan pangan. Komoditas pangan harus dimulai dari segmentasi komunitas maupun geografis. Nah!, IKN juga layak menjadi perhatian khusus dalam skala komunitas ini. Ibarat sebuah desa, wilayah itu harus dapat mengkalkulasi berapa kebutuhan pangan tiap tahun dibagi dengan jumlah potensi suplai pangan yang dapat dihasilkan. Disamping itu, aspek teknis meliputi media tanam, ketersediaan pupuk, infrastruktur serta beberapa mitigasi iklim, juga tidak bisa dilepaskan dari kalkulasi pemberdayaan pangan sebuah wilayah.

Pemprov Kaltim menawarkan 13.000 ha sawah yg belum produktif untuk penunjang pangan IKN, karena Kaltim belum mandiri pangan, namun hanya andalkan pasokan dari Jawa dan Sumatra. Loh, bukannya menurut Pak Sarwo 19 Unit Gudang Bulog dengan kapasitas total 60.000 ton yang berada di sekitar IKN siap menunjang kebutuhan pangan daerah. Jika memang masih belum cukup untuk memenuhi kabutuhan, maka tentunya kita upayakan meningkatkan stok dan infrastruktur yang bisa menunjang ketahanan pangan. Tentunya, upaya peningkatan stok harus terus dikebut, ditambah lagi bahwa BPS mencatat total produksi beras Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2023 diperkirakan sekitar 125,23 ribu ton, atau mengalami penurunan sebesar 14 ribu ton (10,08%) dibandingkan produksi beras pada tahun 2022.

Alhamdulillah, pemerintah beserta otorita IKN telah kompak untuk menjaga komitmen mandiri pangan khusus untuk suplai kawasan ini. Tak tanggung-tanggung, UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara Pasal 18 ayat 3 mengatakan bahwa :

"Pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak terbatas pada: penetapan kawasan hijau yang mendukung keseimbangan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati".

Keseriusan mandiri pangan bukan hanya menjadi isapan jempol belaka ternyata. Baguslah kalau begitu, para pejabat negara, ASN, penduduk lokal IKN  maklum saja bahwa IKN tidak sama dengan ibu kota di Putrajaya, yang hanya dihuni oleh pejabat dan ASN saja kemudian jadi kota hantu karena semua pada pulang setelah bekerja  pun pegawai konstruksi yang jumlahnya ribuan sedang proses membangun mega proyek ini. Tidak usah gusar untuk memikirkan pangan pada waktu sekarang, namun itu urusan nanti. Wah!, setidaknya pernyataan tersebut kurang lazim didengar apabila kita kalkulasikan bahwa pekerja konstruksi saja sudah tidak karuan jumlah suplainya; apalagi tahu sendiri bukan, porsi tukang tak ada yang bukit, semuanya bentuk miniatur "nasi menggungung". Belum lagi nantinya, pejabat dan ASN akan segera berpindah ruang kerja dalam waktu dekat ini. Bisa kita bayangkan, supplay chain  akan bergeser secara tajam ke kawasan IKN, jelaslah bahwa harga juga akan menjadi tolak ukur selanjutnya. Pejabat, ASN, dan pegawai konstruksi jelas ditanggung oleh pemerintah. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, mengingat bahwa iklim investasi IKN juga masih belum sesuai schedule. Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim), perlu anggaran Rp466 triliun. Hanya 20 persen dananya berasal dari APBN. Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah  melapor bahwa serapan APBN untuk proyek IKN mencapai Rp80 triliun. Artinya, masih tersisa sekitar Rp13 triliun (31 Juli 2024). Investor asing maupun domestik sepertinya masih belum terlalu percaya dengan proyek ini. Mengapa?

Yang menjadi pertanyaan "remeh" saya adalah; mengapa pengerjaan Kawasan IKN tidak dikerjakan secara paralel, namun masih fokus pada wilayah 1 yaitu (KIKN), sedangkan Kawasan 2 dan 3 yaitu; Kawasan Pengembangan lbu Kota Nusantara (KPIKN) dan Perairan Pesisir IKN belum dimasksimalkan pengerjaannya?. Padahal seluruh kawasan berpotensi membawa iklim pembangunan yang lebih efektif nan efisien.

Ahmad Afif, Peneliti ekonomi pangan dan Analis swasembada pangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun