Mohon tunggu...
Ahmad afif
Ahmad afif Mohon Tunggu... Dosen - Afif

fleksibel adalah kunci kesuksesan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pragmatisme Etika Pendidikan

17 Februari 2024   09:59 Diperbarui: 17 Februari 2024   10:04 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh,

DR. Ahmad Afif, S.Pd, M.E.

"Pada dasarnya, pendidikan merupakan investasi masa depan".

Quotes ini merupakan kata bijak dari jawaban atas fenomena pendidikan sekarang. Bukan hanya diartikan investasi yang bernilai saja, namun perlu edit dalam mengarungi nilai kehidupan untuk mengisinya. Kini, pendidikan diartikan sebagai hal yang materialistis, artinya bahwa investasi jangka panjang lebih dipahami dengan unsur yang lebih kompleks yaitu; antara nilai yang bisa diuangkan dengan intangible asset. 

Tidak ayal, banyak sekali isu yang mengatasnamakan pendidikan, namun syarat dengan nilai materialistis. Sekolah, kini banyak tuntutan kepada para siswa untuk memenuhi kewajibannya. Begitupun pada jenjang perguruan tinggi. Baru-baru ini,  kasus Institut Teknologi Bandung (ITB) dicap sebagai institut yang mengaitkan pragmatisme ini di ranah Pendidikan, walaupun sebenarnya tidak demikian. ITB berani secara terang-terangan mengarahkan sejumlah mahasiswanya untuk membayar UKT dengan jasa pinjol. Sebut saja Danacita, paradigma ini harus dikembalikan dengan nilai esensi pendidikan sebagai investasi masa depan yang bukan hanya dimulai secara materialistis, namun dimaknai sebagai value added dalam mengarungi samudra kehidupan anak bangsa di kemudian hari.

detik.com
detik.com

ITB mengklarifikasi tentang pembayaran UKT mahasiswa menggunakan jasa pinjaman online. Penegasannya bahwa dana tersebut merupakan pinajaman khusus pendidikan dan langsung ditransfer ke kampus serta harus ada izin orang tua mahasiswa. 31/1/2024.

Republik ini harus kembali kepada masa di mana Ki Hajar Dewantara mengeluarkan semangat "ing ngarsa sung tuladha ing madya mangun karsa, Tut Wuri Handayani". Esensi pendidikan sesungguhnya yang di depan memberikan contoh, dan yang diberikan contoh  harus meniru. Sebaliknya, ketika yang di depan tidak memberikan contoh yang kurang relevan, otomatis yang diberikan contoh akan bertindak sesuai dengan contohnya tersebut.

commons wikimedia
commons wikimedia

Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.

Memang benar adanya, sebutan pahlawan tanpa tanda jasa juga harus dikembalikan kepada mindset pendidikan di Republik ini. Sebut saja kalau kita berbicara data mengenai tingkat kemampuan membaca pelajar di Asean. Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi 6  dengan skor 359, di bawah Singapura dengan skor 543, Vietnam 462, Brunei Darussalam 429, Malaysia 388, Thailand 379. Hal tersebut menegaskan bahwa masih perlu adanya evaluasi di ranah pendidikan Indonesia, mengingat membaca adalah pintu masuk untuk memberikan hilirisasi kualitas pendidikan.

Saadet Deger dalam The Journal of Developing Areas (1985) merefleksikan temuaanya juga  bahwa kemajuan sebuah negara juga ditentukan oleh Human Development Index (HDI). Tingkat HDI ini salah satunya ditopang oleh tingkat literasi yang sejalan dengan perkembangan sebuah negara.


ETIKA PENDIDIKAN

 

Telah banyak kalangan mengemukakan bahwa pendidikan harus dikembalikan kepada khittoh-nya. Dasarnya yaitu membentuk etika yang merupakan bagian yang paling fundamental. Adapun yang lainnya, seperti life skill dan hard skill merupakan tambahan dari nilai-nilai pendidikan, maka bisa dibilang kalau orang belajar itu lebih kepada mendidik daripada mengajar. Alasan ini dikarenakan mendidik akan bisa mengendalikan seluruh rangkaian kolaborasi antara life skill dengan hard skill ditambah dengan nilai etika itu sendiri. Berbeda halnya dengan pola yang tidak sesuai dengan etika.

Pengamat Pendidikan dari UGM, Budi Santoso Wignyosukarto menyatakan bahwa:

"Lapangan kerja di luar pendidikan tinggi tidak banyak yang membutuhkan S3, sehingga semakin sempit lapangan kerjanya. Di Indonesia sendiri tidak banyak industri yang membutuhkan tenaga S3, misalnya untuk riset and development," Tuturnya, 26/01/2024. Kesimpulannya bahwa pendidikan dengan distribusinya harus bisa seimbang. Apabila bisa dilakukan, maka yang akan terjadi adalah kompatibilitas antara pendidikan dengan pengajaran juga melalui hilirisasinya yang kompatibel.

PENDIDIKAN YANG MENGUNTUNGKAN

 

Ungkapan dari Alm. Bob Sadino orang yang intinya mengatakan, "ngapain sekolah, toh!, yang tidak sekolah pun nanti akan jadi kaya". Banyak entrepreneur yang menjadi kaya, namun tidak sampai lulus sekolah. Fenomena ini menjadi problematis dikala Republik ini haus dengan pendidikan yang secara esensi dapat diterapkan. Di samping itu, mindset antara pendidikan dan menjadi menjadi miliarder itu dikait-kaitkan.

Memang benar adanya, salah satu tingkat kesuksesan seseorang ditentukan oleh prestasi pendidikannya, akan tetapi itu bukan menjadi hal yang mutlak. Kesuksesan seseorang justru banyak diraih dari kreatif dan inovasinya dalam mengarungi samudra kehidupan.

Sudah saatnya Republik ini menyadarkan para insan pendidikan dari fenomena mahalnya pendidikan yang dikaitkan dengan variabel tingkat pendidikan. Sudah saatnya para civitas akademika bangun dari tidurnya dan sadar bahwa pendidikan tidak harus mahal, namun yang mahal itu adalah fasilitas pendidikannya. Orang mencari pendidikan kadang yang dicari adalah fasilitas dibandingkan konten yang disajikan oleh lembaga tersebut, atau bahkan orang mencari nilai dari Pendidikan, tanpa melihat fasilitas. Hal ini merupakan dua perkara yang berbeda antara fasilitas pendidikan dan konten Pendidikan.

Sebut saja apabila orang ingin menjadi pilot atau dokter, otomatis biayanya juga mahal karena distribusi dari lulusan ini juga nantinya akan dipekerjakan kepada sektor-sektor yang nyaris eksklusif. Perbedaannya ada pada jurusan sosial humaniora, sebut saja pendidikan atau manajemen Pendidikan. Otomatis biaya untuk pendidikan perguruan tinggi seperti ini juga tergolong murah dibandingkan pilot ataupun dokter. Mengapa demikian? karena rata-rata gaji pendidik itu di bawah pilot dan dokter.

Ibnu Khaldun merupakan tokoh sekaligus pemikir yang banyak menemukan ide-ide realitas interdisipliner antara satu disiplin ilmu dengan yang lainnya. Beliau berhasil mengumpamakan sebuah paradigma ekonomi dengan politik. Keduanya itu ibarat dua mata koin yang beda sisi, namun dalam satu rangkaian koin. Ilmu ekonomi tanpa ilmu politik itu nonsene. Ataupun sebaliknya, politik tanpa ekonomi akan sulit tercapai tujuannya.

Begitu juga, kita harus mengasumsikan bahwa pendidikan dengan etika itu merupakan rangkaian mata koin yang beda sisi, namun satu bagian. Pendidikan tanpa etika itu tidak bisa berjalan, dan etika tanpa pendidikan tidak akan bisa hidup. Keduanya ibarat tubuh dengan rohnya, yang satu sebagai nyawa dan satunya jasad.

DR. Ahmad Afif, SPd, M.E.

Wakil Sekretaris Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Pusat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun