SURAT KECIL BERSAYAP RINDU
Tembok itu masih jadi penghalang yang terlalu tinggi...
Sampai ujungnya pun tak kuketahui.
Beribu anak tangga asa kupanjatkan, namun tak kunjung sampai.
Adakah jalan tengah?
***
Sore itu, hujan begitu derasnya mengguyur Kota Karang.  Di balik jendelan, sepasang bola mata sedang menatap dedaunan yang dengan sabarnya dibasahi air mata alam. Dingin yang turut serta menemaninya sore itu  mengalahkan secangkir teh hangat pada genggamannya. Kini, apalagi yang bisa menghangatinya?
Ding...dong...Suara notif Whatsapp menydarkan Ana dari lamunannya.
"Ana...Salve...Apa kabar?"
"Demi apa? Apa ini mimpi?", kata Ana dalam hati sambil mengusap kedua bola matanya. Berharap ini benar-benar nyata.
Ya...Ini merupakan pesan yang benar-benar dirindukan Ana. Sebuah notif yang benar-benar membahagiakan baginya. Siapa lagi kalau bukan dari.....(seseorang yang aku banggakan).
"Salve Frater. Kabarku baik, bagaimana denganmu?", balas Ana.
"Bahagia sekali ketika mengetahui bahwa kau baik-baik saja. Kabarku juga baik Ana.
Lagi dan lagi Ana dibuat salah tingkah. Dia seperti berada pada taman bunga. Indah sekali. Namun, keindahan itu tak mampu menjelaskan mengapa dia itu indah.
"Ana, minggu ini adalah minggu keluar. Bisakah kita bertemu?"
"Apa? Bertemu?", bisiknya dalam hati penuh kegugupan.
Kali ini hujannya di luar, banjirnya di hati.
Ana benar-benar bingung. Dia tenggelam dalam rasa. Namun.....
"Emmm...tapi, Ter..", jawab Ana penuh keraguan.
"Ana, ada yang ingin kubicarakan. Ini benar-benar serius, Na. bisakah?"
"Akhirnya Tuhan, aku bisa melihatnya lagi," gumam Ana dalam hati.
Ana adalah perempuan sederhana yang tak banyak bicara. Seperti Bunda Maria, dia lebih banyak menyimpannya dalam hati, termasuk rasa yang berbeda kali ini. Dia lebih banyak menuangkan isi hatinya dalam tulisan-tulisan, seperti puisi dan juga cerpen.
***
(Sambil menyodorkan tangan). "Hallo, Ana. Senang bisa bertemu denganmu lagi".
"Senang juga bisa bersua denganmu". Sambil tersenyum, mereka berdua bersalaman.
"Bagaimana dengan kuliahmu?"
"Yah....aku sedang sibuk menyusun tugas akhir. Doakan saja semoga bisa habis tahun ini", jawab Ana.
"Aman. Itu sudah pasti".
"Lalu, bagaimana dengan masa TOP-mu? Aku tak pernah mendengar kabar sedikit pun darimu. Pasti kamu begitu sibuk", tanya Ana.
"Ana. Maafkan aku, bukannya aku tak ingin memberi kabar, tapi aku ingin kamu..."
"Aku tahu kok. Kau ingin menjauh dariku kan?"
"Ana...", suara terasa berat untuk mengucap namamu.
"Aku mengerti. Aku paham. Ini semua salahku. Seharusnya aku tak meng-iyakan hubungan ini dulu. Sekarang aku harus menerima semua ini bahwa semuanya akan berakhir," pelupuk mata Ana terasa basah mengitari ruang pertemuan ini.
"Ana, kau tak pernah salah. Cinta yang kita ukir pun tak pernah salah. Kita berhak menyukai dan mencintai sebagai manusia. Hanya saja, mungkin rasa itu hanya perlu berlabuh pada pelabuhan tanpa singgah, bukannya menetap".
(Suasana menjadi hening)
"Ana..percayalah bahwa menjadi aku yang sekarang bukanlah hal yang mudah. Maafkan aku Ana".
(Ana tersenyum sebisanya)
"Ana, aku tak bisa pungkiri bahwa rasa cinta memiliki kini berubah menjadi rasa sebagai adik dan kakak. Aku tulus bahwa..."
"Sudahlah, aku mengerti. Jaga jubah putihmu. Jangan sampai terkena tinta", Ana menyambar kata-katanya yang belum usai disampaikan.
Ana pun beranjak pergi tanpa sepatah katamu dan salam perpisahan.
***
Setelah kejadian waktu itu, puing-puing rinduku padanya berubah seketika. Aku menyadari bahwa cinta tak selamanya memiliki. Namun, aku juga sadar bahwa dia juga adalah alasan bahagiaku.
Aku mencoba membuka lembaran kisah baru. Inginku buktikan padamu bahwa rasa rinduku selalu berterbangan ke sana ke mari tak menentu. Masih dengan bayang-bayang bola matamu yang syahdu itu, ku ingin menulis sepucuk surat padamu. Surat rindu seorang gadis tepi pantai, yang ingin hanyut bersama gelombang rasa. Birkan dalamnya lautan mencerminkan dalamnya rasa sayangku padamu, namun tak harus memiliki.
Kupang, 29 Maret 2023,
Dear you,
Selamat hari Minggu kakak. Salve. Apa kabarmu hari ini? Maafkan sikap egoku waktu itu yang pergi tanpa alasan dan tanpa sepatah kata perpisahan sedikitpun untukmu.
Frater, aku begitu bahagia karena mengetahui bahwa kau juga menyukaiku. Maafkan sikapku yang sudah menjadi perempuan pengecut. Aku merasa malu karena tak mampu mengungkapkan perasaan ini secara langsung. Namun, aku juga mau berterima kasih, sebab kau begitu peka terhadap setiap puisi yang kutulis pada halaman sosmedku.
Frater. Izinkan rasa sayang ini tetap tinggal dalam hatiku, sampai waktu yang membawanya kembali pergi. Aku bersyukur pernah menjadi bagian irisan kehidupanmu, pernah mencitntaimu. Maafkan aku yang begitu serakah ingin memilikimu.
Semoga suatu saat kau mengerti.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI