Mohon tunggu...
Steven Saunoah
Steven Saunoah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA-KUPANG
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Terkadang menulis membuat saya mengekspresikan segala jiwa. Tulisan yang saya senangi adalah puisi. Jika jatuh maka bangkit lagi. Never Give Up.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Loyalitas Kebijakan Gubernur NTT dalam Keterbatasan Manusia NTT

22 Maret 2023   13:04 Diperbarui: 22 Maret 2023   13:13 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi

LOYALITAS KEBIJAKAN GUBERNUR NTT DALAM KETERBATASAN MANUSIA NTT

Oleh: Mario G. Afeanpah


Sebagai makhluk yang memiliki tingkat rasio yang tinggi, manusia tidak akan melepas dirinya dari kemampuan mencari tahu. Mencari tahu ini dilakukan dengan tindakan bertanya. Ia mempertanyakan dirinya, keberadaannya, dan dunianya. Walaupun masih bersifat sederhana, kegiatan ini sudah dimulai sejak dini. Melalui pertanyaan yang diajukan ia ingin mengetahui sesuatu, dan mempunyai sifat yang berkelanjutan.

  Terkait hal bertanya, tentunya dengan kebijakan Gubernur NTT mengenai penerapan sekolah masuk jam 5 pagi merupakan suatu bentuk disposisi esensi dari eksistensi manusia secara khusus manusia NTT yang harus dipertanyakan. Salah satu tujuan yang ditempuh dalam kebijakan tersebut ialah meningkatkan kedisplinan lembaga pendidikan dalam meningkatkan mutu peserta didik. 

Namun yang nanti menjadi akibat dari kebijakan tersebut ialah makna kebijkan dalam tataran nilai manusia NTT. Sebagaimana, kebijakan yang dibuat atas dasar pencaplokan terhadap ketertinggalan manusia NTT. Masih perlukah manusia NTT memaknai pendidikan sebagai upaya penigkatan mutu hidup manusia NTT, di tengah keterbatasannya?

DASAR ACUAN

Bertolak dari Katadata Media Network, Jumlah penduduk Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 5,49 juta jiwa pada Juni 2021. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, penduduk NTT yang berhasil menamatkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi atau universitas mencapai 326,3 ribu jiwa (5,95%). 

Dengan rincian, terdapat 567 jiwa (0,01%) penduduk NTT yang merupakan lulusan S3, ada 9,36 ribu jiwa (0,17%) pendidikan hingga jenjang S2, 231,13 ribu jiwa (4,21%) bersekolah hingga jenjang S1. Ada pula 62,32 ribu jiwa (1,1%) penduduk di provinsi tersebut yang berpendidikan hingga lulus D3 dan terdapat 22,93 ribu jiwa (0,42%) yang berpendidikan D1/D2. Penduduk NTT yang menamatkan pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 930,97 ribu jiwa (16,97%). 

Ada pula 609,38 ribu jiwa (11,11%) penduduk di provinsi tersebut yang telah menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Sebanyak 1,41 juta jiwa (25,68%) penduduk NTT yang telah lulus Sekolah Dasar (SD). Ada pula 968,24 ribu jiwa (17,65%) yang belum tamat SD. Sedangkan yang tidak/belum sekolah terdapat 1,24 ribu jiwa (22,63%).

Pengetahuan merupakan suatu kekayaan dan kesempurnaan bagi manusia. Bertolak dari data tersebut sangat jelas bahwa posisi kebijakan yang dibuat belum mendapat porsi yang tepat. Akumulasi menitik pada angka yang cukup miris yakni 1,24 ribu jiwa (22,63%) yang tidak atau belum sekolah. Secara khusus mengenai yang tidak sekolah merujuk pada angka melek huruf (AMH), hal ini bila dibandingkan dengan jumlah lulusan dengan jenjang tertentu masih berada pada posisi yang sangat kecil yakni 930.97 ribu jiwa (16,97%). Secara jelas dapat dikatakan bahwa manusia NTT masih tertindas dalam dilema buta huruf.

POSISI KEBIJAKAN GUBERNUR NTT

Menimbang hal tersebut penulis akan memaparkan analisis pribadi penulis. Analisis pertama ialah mengenai kebijakan. Secara otentik kebijakan dibuat atas dasar otoritas penuh sebagai pemegang kekuasaan, yang disatu pihak bersifat mengharuskan dan dipihak lain bersifat pemaksaan. Mengapa harus? Karena berdasarkan otoritas atau sebagai pemegang kekuasaan, dan mengapa bersifat memaksa? Karena mempunyai intensi untuk mereduksi kebebasan. Yang mana secara mutlak kebebasan manusia NTT direnggut tanpa pengkajian yang memadai.

Lebih jauh dalam analisis penulis, bahwa problem utama manusia NTT ialah mengenai melek aksara (buta huruf), yang sudah lama menjadi model pendidikan manusia NTT. Model pendidikan primitive itu terus terbawa hingga pada perkembangan pendidikan selanjutnya. 

Problem ini didasarkan pada bentuk budaya manusia NTT yang secara khusus belum mengenal bentuk literasi (budaya mebaca dan menulis), dan belum adanya peninggalan literasi dalam bentuk tulisan. Akhirnya merujuk dalam pembiasaan literasi visual yang dikenal dalam setiap budaya dengan ungkapan; petuah-petuah, takanab hingga pada syair-syair. Hal tersebut pula bila disandingkan dengan kebijakan Gubernur NTT, maka manusia NTT akan sampai pada pemahaman yang keliru; biar sekolah saja yang penting bisa tamat.

Sedangkan dalam pemaknaan lebih jauh bahwa kebijakan yang dibuat merupakan suatu tatanan pola hidup baru. Karena, Gubernur NTT melalui kebijakannya menantang manusia NTT untuk berani memakai cara hidup baru dalam pemaknaan cara hidup lama. Namun hal ini, masih merupakan persepsi penulis dalam pemaknaan lebih jauh atas kebijakan yang dibuat. Penulis secara tegas menghalalkan tujuan dari kebijakan yang dibuat yaitu meningkatkan kedisplinan lembaga pendidikan dalam meningkatkan mutu pendidikan peserta didik. Namun penulis tidak menghalalkan strategi yang dilaksanakan. Apakah ruang privat manusia NTT menjadi ruang public kebijakan Gubernur NTT?

PENGETAHUAN SEBAGAI CARA BERADA 

 Kegiatan mengetahui merupakan aktivitas khas manusia. Dikatakan khas, karena diantara ciptaan yang ada hanya manusia yang mampu melakukan kegiatan ini. Kegiatan ini merupakan instrument bagi manusia untuk berpengetahuan. Dan isi pengetahuan manusia tidak lain adalah hidup manusia itu sendiri. Secara tegas kebijakan yang dibuat masih menggambarkan manusia NTT yang belum keluar dari zona melek akzara.

Penelitian, pengkajian, hingga keputusan yang jelas akan sangat memampukan tercapainya suatu kebijakan demi kebaikan bersama. Pemberdayaan literasi merupakan wadah yang tepat dalam meningkatkan mutu pendidikan di NTT. Pra-sarana hingga pada pengaktualisasi yang penuh pemahaman juga menjadi jembatan dalam peningkatan mutu peserta didik, sehingga menghindari pemerkosaan terhadap keutamaan manusia yang idealnya memiliki esensi kebebasan, kehendak, dan akal budi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun