Saya percaya menjadi wali kelas merupakan panggilan hidup yang sangat special bagi setiap guru. Menjadi wali kelas melatih saya menjadi 'kepala keluarga' 25 siswa yang Tuhan percayakan kepada saya. Saya pribadi yakin menjadi wali kelas sebagai 'kepala keluarga' memiliki peran lebih dari sekedar memantau nilai dan sikap siswa, meamanggil orang tua, bahkan mengurusi administrasi kehadiran, masalah keterlambatan, wali kelas memiliki peran untuk menjadikan kelas sebagai keluarga, sahabat, dan komunitas belajar yang mengembangkan hidup siswa.
Menjadi wali kelas 10.2 di SMA Dian Harapan Daan Mogot merupakan salah satu hal terbaik yang terjadi dalam hidup saya. Kelas yang hanya berlangsung 1 semester ini meninggalkan jejak hidup yang tidak akan pernah terlupakan. Terima kasih untuk Mr. Joko yang sudah menjadi partner, rekan sekerja, dan juga sahabat yang selalu mendukung dan membantu dalam kelas. Saya sadar masih banyak hal yang masih harus saya pelajari untuk menjadi wali kelas yang memiliki peran sebagai 'kepala keluarga'. Saya adalah wali kelas yang masih jauh dari kata sempurna, namun pada kesempatan kali ini saya mau membagikan refleksi pengalaman belajar saya menjadi kepala keluarga 10.2. siswa yang menciptakan suasana welcome home bagi setiap anggota keluarga.
1. Bagikan Hidup Anda (Share Your Life)
Sejak awal pertemuan dalam kelas, saya membagikan renungan pagi tentang nilai-nilai yang ingin saya miliki dalam kelas 10.2 sebagai 1 keluarga. Saya pun membagikan makna menjadi sebuah keluarga, harapan-harapan yang ingin saya capai sebagai 1 keluarga, dan bagaimana setiap kita bisa menjadi anggota keluarga yang dapat memaksimalkan hidup kita. Memang sekolah kami memiliki jam wali kelas setiap pagi selama 30 menit dimana wali kelas membagikan renungan pagi kepada setiap siswa. Saya yakin dalam membagikan renungan pagi kita tidak perlu membahas hal yang rumit dan kompleks tapi keep it simple and meaningful. Setiap pagi, saya mencoba membagikan ayat-ayat Firman Tuhan yang saya sendiri refleksikan dalam hidup saya. Jangan coba-coba menggurui siswa seolah-olah kita orang yang sempurna dan mewajibkan siswa melakukan A,B, C tanpa kita sendiri tidak pernah melakukan dan merefleksikan dalam hidup kita. Inti renungan pagi saya adalah membagikan hidup saya dan perjalanan saya mengenal Tuhan yang jauh dari sempurna. Biarkan siswa melihat ketidaksempurnaan itu dan mengenal kita apa adanya. Misalnya, ketika saya membagikan topic tentang “RESPECT” saya membagikan pengalaman saya menghormati papa dan mama saya dan pentingnya menghormati papa mama lewat quotes berupa kata-kata, lagu, bahkan lagu yang dapat memperdalam makna respek tersebut. Bahkan bisa saja dalam 1 minggu, topic MD yang saya bawakan tentang respect yang dibagikan dari berbagai perspektif dan cara yang menarik. Dan yang terpenting, bagikan CERITA HIDUP anda tentang Respect yang akan membuat renungan pagi menjadi relevan dan bermakna. Tidak perlu ragu, malu, atau jaim membagikan kegagalan, kejatuhan, dan kekurangan anda tentang topik tersebut. Misalnya tentang Respect, saya sendiri membagikan bagaimana perjuangan saya untuk menghormati orang tua yang seringkali jatuh bangun karena ego saya. Dengan membagikan diri anda apa adanya, siswa pun tidak melihat kita sebagai “SANG GURU” yang jauh disana melainkan guru yang juga mau bergandengan tangan berjalan untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Lewat setiap devosi pagi yang seperti pedang bermata dua, saya menyadari betul Tuhan terus menyatakan kasih dan kuasaNya untuk membaharui spirit kami setiap pagi untuk semakin bertumbuh mengenal Dia. Sharing hidup anda adalah bagian terpenting untuk membiarkan siswa masuk dan mengenal siapa anda dan mempercayai anda sebagai wali kelas dan 'kepala keluarga' yang mau PERCAYA terhadap mereka.
2. Berikan Kesempatan SETIAP siswa BERBAGI(Let Your Students Share) Jika anda tidak terbuka akan hidup anda, jangan harap siswa anda pun akan terbuka dengan anda.
Di sekolah kami, di bulan September, kami mengadakan retreat bersama 1 angkatan dimana setiap siswa diberikan waktu bersama Homeroom Teacher (Wali Kelas) untuk memberikan siswa kesempatan untuk dibina secara intensif menemukan panggilan hidup mereka dan juga membagikan hidup mereka. Pada awalnya, saya kurang begitu mengenal siswa yang ada di kelas saya karena hanya mengajar 1 sesi di kelas Geografi setiap minggunya. Itupun biasanya, saya hanya membahas materi pelajaran. Setiap pagi memang kami juga memiliki renungan pagi selama 30 menit yang juga sangat terbatas dimana seringkali saya yang membagikan renungan pagi. Namun, di retreat ini, kami memiliki banyak waktu untuk memberikan siswa berbagi cerita dan pengalaman hidup mereka di dalam kelompok kecil. Saat itu, saya memberikan kesempatan kepada SETIAP siswa untuk membagikan pengalaman hidupnya. Pertama kali, semuanya masih terlihat agak malu-malu dan tertutup. Jelas, karena saya meminta mereka membagikan hidup tanpa saya berani membagikan hidup saya terlebih dahulu. Langsung saya berpikir untuk membagikan hidup saya terlebih dahulu dengan kesepakatan bersama: Apapun yang dibagikan disini hanyalah untuk kelas ini, Tidak disebarluaskan. Mulai dari latar belakang keluarga, masa lalu, masalah, dan tantangan pribadi yang saya alami ketika saya duduk di bangku SD, SMP, SMA bahkan sampai sekarang. Saya pun meminta partner HT saya, Mr. Joko untuk membagikan hal yang sama. Tidak disangka, Pak Joko pun membagikan pengalaman hidupnya yang membuat saya semakin mengenal pribadi Pak Joko. Setelah itu, baru setiap siswa mulai terbuka membagikan pengalaman hidup, masa lalu, bahkan pokok doa dan harapan yang selama ini mungkin hanya dipendam. Namun, kepercayaan terhadap keluarga 10.2 membuat siswa pun tidak malu dan berani membagikan hidupnya dengan sesama anggota keluarga 10.2. Lewat setiap sharing, saya pun terkejut bahwa ternyata setiap pribadi kami ternyata berbeda-beda dan setiap siswa memiliki masalah, tantangan, dan bahkan masa lalu yang berbeda-beda. Siswa yang tadinya saya kenal nama dan predikatnya diantara teman-teman ternyata memiliki pergumulan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya banyak belajar ternyata saya masih belum mengenal mereka secara mendalam. Banyak hal yang belum saya lakukan untuk mengenal mereka lebih dalam lagi. Bahkan di momen inilah, saya tidak hanya dapat mengenal siswa saya, tetapi juga mengenal lebih dekat diri saya sendiri. Disini, beberapa siswa memberikan pendapat tentang saya, “Saya selalu berpikir Mr. Steven orangnya sombong karena ketika disapa, terkadang tidak menengok dan sombong. Setelah menjadi bagian dari HTnya, kami merasakan betul bahwa sebenarnya Mr.Steven jauh dari kata sombong.” Setelah dari sharing ini pun, saya pun berterima kasih atas masukan dan saran dari mereka kepada saya untuk lebih ramah dalam menyapa. Disini saya menyadari bahwa Tuhan sedang membentuk kami menjadi bagian dari keluarga yang saling mendukung. Setelah dari sharing ini, saya merasakan betul adanya perbedaan yang begitu nyata di atmosfer kelas kami setiap pagi. Kini kami bukanlah orang asing yang hanya sekedar mengetahui teman kami. Tetapi kami justru menjadi saling mengenal, percaya, dan merasakan betapa berharganya dan uniknya pribadi kami sebagai bagian dari anggota keluarga kami.
3. Masuk dalam dunia mereka (Enter Students’ World)
Tips ketiga yang saya bagikan adalah mencoba masuk dalam dunia siswa. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan saya sangat menyadari hal itu. Saya sendiri pun bukanlah wali kelas yang sanggup melakukannya dengan sempurna. Bahkan saya pun terkadang gagal karena kesibukan yang begitu padat. Namun begitu mendapat kesempatan, saya pun mencoba masuk dalam dunia mereka lewat berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan kelas yang kami ikuti dalam sekolah.
Salah satu kenangan yang tidak terlupakan juga ketika kami mengikuti kegiatan bulan bahasa dimana kami kebagian merepresentasikan daerah Jambi. Salah satu kegiatannya adalah kami perlu memakai dresscode yang berkaitan dengan jambi dan juga berjualan makanan khas Jambi. Keterbatasan waktu, tenaga, dan dana membuat kami pun mencari ciri khas daerah Jambi yang identik dengan baju warna merah. Sayangnya, sebagian besar siswa akhirnya hanya mencari baju merah tanpa aksesoris daerah. Kami pun belajar mempersiapkan acara ini lebih baik lagi. Saya pun dapat ikut merasakan kegagalan dan kekurangan dari kelas kami. Meskipun demikian, ini tidak merusak sama sekali mood satu kelas untuk melakukan foto bersama seperti yang ada di gambar di bawah ini. Dengan ikut masuk dalam dunia siswa, saya pun semakin mengena siswa lebih baik lagi. Keep smiling!