Mohon tunggu...
Steven Sitohang
Steven Sitohang Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Sekarang sedang aktif di sebuah firma di Jakarta untuk tugas ke luar kota (Palembang-Kayu Agung-Jakarta).

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Tak Mengenal Diri Sendiri

2 November 2014   09:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:53 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan, dan ‘tak ada pernah melihat secuil terang seperti kelereng, seperti sebutir beras. Mereka yang diam di negeri kekelaman terlempar, ke dalam segala kegagalan dan kemustahilan di bawah bendera kelaparan, atasnya ‘tak pernah sekalipun bersinar. Telah hancurnya tembok pertahanan bernama kepatriotan, dan tersisah banyak panda-panda makar. Hanya ejekan dan cibiran dari dunia bias di luarnya. Tak ada kharisma, sama sekali tak berwibawa. Engkau telah menimbulkan banyak persoalan layaknya keledai, dan dukacita yang menusuk-nusuk tajam langsung ke dada para pejuang, amat sangat menyesakkan!.

Mereka belum merasakan sesendok penuh sukacita di sini, seperti seorang ibu melahirkan dan bayi yang dilahirkan terus meninggal, seperti anak kecil bersorak-sorak saat hujan turun, tetapi ‘tak berhenti dan menenggelamkannya dan menghanyutkannya. Sebab tetesan air itu yang membutuhkan waktu untuk memenuhinya telah ditumpahkan, serta tongkat si penindas ‘tak mungkin bisa kau patahkan seperti pada hari kekalahan. Sebab setiap serdadu sudah siap mengantisipasi di setiap sisi dan barisan disiplin peluru akan meluncur satu per satu dengan cepatnya menyinggapi kita para pemuda, para pendahulu hati dari pada otak, para pemikir, para pembela yang mereka namakan pemberontak. Bila jenis-jenis seperti ini juga punah atau dipunahkan, atau bahkan mempunahkan diri sendiri, boleh jadi tangga kehidupan yang maha panjang itu akan surut susut sampai ke lutut!. Dan setiap sudut kota telah habis terbakar maka bangsa ini akan sunyi sepi dan hanya bisa mengangguk jika ada permainan baru dari atasnya seperti boneka dengan berabad-abad lama.

Celakalah bangsa yang dipenuhi oleh setiap mahluk yang terkutuk, terutama manusianya, kaum yang sarat akan kesalahan, tidak nyatanya kaum perfeksionis yang menghendaki ketidakterbatasan atas kemampuan terbatas manusia. Kebanyakan Kursi-kursi di atas diduduki oleh sekumpulan manusia tengik yang adalah keturunan para penjahat, keturunan para pencuri biadab. Kita hanya sekumpulan semut yang ditinggalkan oleh mereka, dinistakan oleh mereka dan berpaling membelakangi kita. Seperti sampah yang tak dapat didaur ulang. Kita bisa saja menjadi semut api setiap kali kita menghendaki.

Dimana kalian ingin kita gigit lagi? Apakah kamu tidak belajar dari masa lalu? Seluruh kepala kita sakit karena emosi, dan ditambah lagi dengan ketidakpastian dan pengingkaran janji-janji manis dari tenggorokanmu yang berdampak langsung pada seluruh hati menjadi lemah lesu.

Lihatlah akibatnya, sekarang kebanyakan dari kita seperti hewan peliharaan jinak yang patuh dan didominasi oleh majikan. Dikurung dan disekap di dalam kandang bersama dengan penyakitnya, terisolasi!. Membuat kita tidak memiliki sedikit inisiatif dan keberanian untuk kreatif demi kebaikan diri sendiri, sialnya majikan itu bukan hanya kamu, tetapi setiap orang yang rapih berpakaian kantor, berdasi yang ditemuinya di pinggir jalan adalah majikannya, dan kita merasa pantas untuk menjulurkan telapak tangan kita ke atas pada mereka. Lebih parah lagi, kita semua sudah menyadari bahwa negeri-tanah kita ini diisi oleh banyak harapan dan harta karun, dipenuhi oleh emas dan perak dan ‘tak terbatas harta bendanya; negeri yang dikelilingi air yang maha luas dan indah, dan ‘tak terbatas jua jumlah makanan, perhiasan dan itu semua yang bisa kita manfaatkan.

Tetapi sekarang yang ada di depan matamu, mata kita adalah orang-orang asing memakan hasil dari tanah tadi, berenang di air yang indah tadi, memakai perhiasan dari air yang maha luas tadi. Sunyi sepi bahkan bisunya negeri ini ditunggalbalikkan orang asing dan kamu seolah-olah tidak melihatnya, kita semua seolah-olah tidak bertanggungjawab atasnya. Entah kemana harapan kita yang tersembunyi pergi ditiup oleh angin yang bukan kepunyaan kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun